Menggagas Sekolah Unggul “Lahir Batin”

ABSTRAK:

Sekolah unggul seringkali dinisbatkan pada sekolah-sekolah yang telah dapat memenuhi kelengkapan secara materialistik daripada immaterialistik. Padahal sesuai amanat UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 keunggulan immateralistik sebuah sekolah itu harus berbanding lurus dengan pencapaian keunggulan materalistik. Pengembangan sekolah dari segi immaterialistik artinya adalah pengembangan yang lebih difokuskan pada bagaimana menciptakan “ruh pendidikan” yang berwujud pada upaya membangun budaya sekolah yang unggul, lahiriyah maupun batiniyah. Sekolah yang benar-benar memiliki keunggulan “lahir-batin”, adalah sekolah yang tidak saja mampu mewujudkan kelebihan-kelebihan lahiriyah, materalistik, dan fasilitatif tetapi juga mampu mengedepankan keunggulan batiniyah, immaterialistik dan spiritualistik yang mencirikan kedalaman spiritual dan keagungan akhlak.

KATA KUNCI: Sekolah Unggul, Unggul “Lahir Batin”

 

  1. PENDAHULUAN

Konsep sekolah unggul pada dasarnya merupakan sebuah intitusi belajar yang mempraktekkan perubahan yang sistemik dari aspek manajemen maupun pembelajarannya dalam rangka memberikan kemampuan pelajar menghadapi tantangan di era teknologi informasi saat ini. Implementasi pendidikan menuju sekolah unggul memerlukan perubahan dan pelayanan sekolah, dimulai dari manajemen dan pelaksanaan kurikulum sekolah. Telah banyak penelitian dilakukan terhadap pengembangan sekolah biasa menjadi “sekolah unggul”, namun menurut Stoll dan Fink[1], teori yang dikembangkan tidak banyak terfokus pada proses pembinaan sekolah tersebut agar menjadi sekolah unggul.

Teori tentang pengembangan sekolah unggul disandarkan pada Teori Kepemimpinan Transformatif, yaitu perbaikan sekolah konvensional menjadi sekolah unggul lebih berpusat pada proses, model perancangan dan budaya pelaksanaan dalam bentuk kepemimpinan transformasi yang lebih banyak berorientasi kepada sistem kooperatif dan partisipasi yang energetik dari para anggota organisasinya. Hal ini dilakukan melalui pendekatan dengan cara membentuk perasaan, sikap dan kepercayaan dari semua personil sekolah yang ada di dalamnya, sehingga kepemimpinan ini tidak hanya beroriantasi kepada tugas semata. Jenis teori kepemimpinan ini dapat diterapkan dalam manajemen sekolah unggul, tidak hanya terfokus pada kepala sekolah saja, tetapi juga kerjasama antara pimpinan dan guru sebagai “transformational leaders”.

Lahirnya sekolah unggul (excellent school) tidak saja menjadi cita-cita setiap penyelenggara institusi sekolah, bahkan telah menjadi tuntutan masyarakat secara luas. Sekolah unggul pada dasarnya lahir karena kebutuhan masyarakat yang mendesak terhadap pendidikan yang bermutu, yang mampu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mengembangkan potensi anak secara maksimal. Tuntutan adanya sekolah yang berkualitas (unggul) menjadi tuntutan masyarakat kelas menengah ke atas, seperti diungkapkan oleh Kartadinata:

“Kelompok masyarakat menengah ke atas memiliki pola hidup dengan ekspektasi yang cukup tinggi baik di bidang pengembangan karier dan pekerjaan maupun masa depan anak-anaknya. Standar hidup kelompok masyarakat ini berbeda pada skala tinggi, sehingga mereka juga akan berupaya untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan yang dapat menjadikan dirinya mampu berkompetisi dalam kehidupan masyarakat yang makin kompleks dan mengglobal ini. Tuntutan semacam ini telah menumbuhkan aspirasi pendidikan di kalangan mereka menjadi cukup tinggi sehingga keinginan menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang baik telah menjadi suatu kebutuhan dasar bagi mereka”.[2]

Menjadi unggul adalah dambaan tiap sekolah. Tidak ada satupun institusi sekolah yang tidak ingin sekolahnya unggul. Dengan segala problem yang dihadapi dan bagaimanapun keadaan suatu sekolah ketika ditanya apakah sekolah anda ingin bisa mencapai suatu titik kenggulan, tentu saja secara serempak sekolah-sekolah itu akan memberikan jawaban seragam, unggul itu perlu dan penting! Tapi meskipun “unggul” itu menjadi cita-cita dan harapan sekolah, banyak sekolah yang tidak tahu dari mana harus memulakan mengejar keunggulan. Kebanyakan terjebak pada rutinitas sekolah yang begitu menguras tenaga sehingga ‘tak sempat’ untuk memikirkannya, atau bahkan ada yang pasrah dengan keadaan yang sudah akrab dan mentradisi: nrimo ing kahanan (‘ikhlas’ menerima keadaan) dan nrimo ing pandum (‘ikhlas’ menerima apa yang sudah ada).

Ini sebuah ambiguitas, ingin unggul tapi tak mau bersusah payah, tak ingin repot-repot kalau untuk menuju ke sana (titik keunggulan) harus banyak menguras ini-itu yang belum tentu profitable, baik dari segi kredit “koin” maupun poin. Sikap seperti inilah yang menyebabkan sekolah-sekolah “jalan di tempat”, mengalami kejumudan (stagnant) secara kontinu, meskipun aba-aba “maju jalan!” seringkali disuarakan para stakeholder sekolah maupun para pembuat kebijakan pendidikan, biarpun menteri pendidikan datang silih berganti dan kurikulum mengalami bongkar pasang. Alhasil, sekolah akan tetap menjadi menara gading alias “kering”, tanpa banyak sentuhan-sentuhan inovasi, improvisasi, dan orientasi.

Deskripsi di atas melahirkan terminologi “sekolah kering”. Istilah ini mungkin agak tepat digunakan (karena lebih etis) daripada menggunakan term “sekolah tandus”. Kalau “tandus” artinya tak bisa ditanami kembali atau useless (tiada guna), sedangkan “kering” kemungkinan masih dapat ditanami kembali karena hanya pohonnya yang mati, sedangkan tanahnya masih subur. Hanya diperlukan penanam profesional untuk mengatasinya. Penanam yang dimaksudkan di sini tentu saja para stakeholder sekolah yang punya semangat the unity of mission and destination (kesatuan misi dan tujuan). Ketiadaan atau minimnya gerakan-gerakan terstruktur dari para stakeholder sekolah itulah yang menyebabkan sekolah menjadi “kering”, wabilkhusus kering dari upaya-upaya pemberdayaan dan pengejawantahan 8 (delapan) standar pendidikan yang telah digariskan oleh undang-undang. “sekolah kering” semacam ini juga sering dianalogikan sebagai sekolah la yamutu wala yahya, yaitu sekolah yang nafasnya senin-kemis, kurang bermutu tapi banyak menelan biaya, atau sudah tidak bermutu tapi masih suka bergaya.

Untuk mengatasi fenomena “kekeringan” yang menggelayuti sekolah-sekolah kita itu dan berubah menjadi sekolah yang “unggul lahir batin” diperlukan sebuah keberanian ekstra untuk bangkit dari kejumudan. Kejumudan yang sudah sedemikian mengkultur itu harus didobrak beramai-ramai dengan melibatkan seluruh stakeholder sekolah dengan segenap potensi yang dimilikinya. Tanpa keberanian mendobrak “kekeringan” ini, perbaikan mutu pendidikan kita akan sulit terwujud meskipun telah bejibun model pendidikan dan kebijakan-kebijakan yang diundangkan.

  1. TANDA-TANDA SEKOLAH UNGGUL

Sebuah sekolah dapat dikatakan unggul apabila ia memiliki tanda-tanda atau kriteria yang yang mencirikan kelebihan-kelebihannya dibanding sekolah konvensional lain pada umumnya. Namun persepsi tentang sekolah unggul seringkali dinisbatkan pada sekolah-sekolah yang telah dapat memenuhi kelengkapan secara materialistik daripada immaterialistik. Padahal sesungguhnya keunggulan immateralistik sebuah sekolah itu harus berbanding lurus dengan pencapaian keunggulan materalistik. Berkaitan dengan hal ini, Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan upaya pencapaian keseimbangan antara kebutuhan materalistik dan immaterialistik sekolah, sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[3]

 Dari uraian tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam UU Sisdiknas di atas tampak dengan jelas bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh setiap sekolah tidaklah hanya pada pencapaian kemampuan kognitif dan psikomotorik saja, tetapi juga pada kemampuan afektif di mana ketiga-tiganya harus dapat diupayakan tercapai secara seimbang. Dengan kata lain, pencapaian keunggulan kognitif (berilmu, cakap) harus dibarengi dengan keunggulan psikomotorik (kreatif, sehat, mandiri, demokratis), dan keduanya harus diimbangi dengan keunggulan afektif (imtaq, akhlak mulia, dan bertanggung jawab).

Pada umumnya sebuah sekolah dapat dikatakan unggul apabila memiliki beberapa kelebihan dalam hal mengelola dan mengembangkan komponen-komponen sekolah. Menurut Nanang Rijono[4], karakteristik sekolah  unggul itu antara lain:

  1. Keunggulan Kurikulum

Keunggulan dalam mengelola dan mengembangkan kurikulum sekolah menjadi bagian yang paling penting dari setiap sekolah, sebab di dalamnya terdapat berbagai macam rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Upaya mengelola dan mengembangkan kurikulum sekolah ini dapat dilakukan dengan cara mendesain terlebih dulu silabus/kurikulum yang berkualitas unggul, di mana kurikulum ini dapat menggambarkan hasil akhir/tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah unggul.

Langkah-langkah dalam Pengembangan Kurikulum dan Silabus Sekolah tersebut antara lain sebagai berikut:

  1. Dinas Pendidikan, Seksi Kurikulum, dan Sekolah bersama-sama membuat rancangan kurikulum dan silabus yang akan digunakan di sekolah. Apakah kurikulum bersifat khusus atau kurikulum umum, tergantung kepada pilihan pihak pengembang kurikulum.
  2. Kurikulum dan silabus ini akan menggambarkan hasil dan tujuan yang akan dicapai serta kualitasnya yang diinginkan.
  3. Kurikulum dan silabus yang dikembangkan perlu bersifat diversifikasi (untuk siswa dengan kemampuan yang berbeda).
  4. Setelah draft kurikulum disusun, perlu dilakukan verifikasi terhadap kurikulum dan silabus teresbut, dengan melibatkan ahli kurikulum dan ahli materi pelajaran, serta ahli penilaian.
  5. Setiap jenis kurikulum menuntut konsekuensi PBM yang berbeda.

 

  1. Keunggulan Proses Belajar Mengajar (PBM)

Proses Belajar Mengajar yang unggul ditandai dengan konsistensi sekolah dalam menggunakan model pembelajaran yang inovatif, mendorong siswa aktif dan kreatif, serta menyenangkan. PBM yang unggul dapat dilakukan dengan cara mengembangkan rancangan PBM yang sesuai dengan silabus/kurikulumnya, misalnya kapasitas jumlah siswa perkelas, strategi belajar mengajar yang digunakan, waktu dan sistem belajar yang diterapkan, dukungan sarana dan prasarana yang diperlukan, dan sebagainya.

Langkah-langkah dalam Pengembangan Proses Belajar Mengajar tersebut antara lain sebagai berikut:

  • Setelah kurikulum dan silabus selesai dikembangkan, perlu dilakukan pengembangan rancangan PBM yang sesuai.
  • Dalam mengembangkan rancangan PBM, perlu ditetapkan : (1) berapa jumlah siswa per kelas, (2) berapa banyak rombongan belajar di sekolah, (3) model pembelajaran apa yang dipilih,dan strategi pembelajaran apa yang sesuai, (4) kompetensi guru seperti apa yang diperlukan, (5) sarana apa yang yang perlu disiapkan atau akan dimanfaatkan, dan (6) bagaimana sistem penilaiannya.
  • Jika di sekolah tersebut akan dilakukan diversifikasi kurikulum, maka rancangan PBM juga harus disusun secara berbeda.
  • Di sekolah unggul ada blue print rancangan PBM yang menjadi ciri khas sekolah tersebut. Setiap guru dapat mengembangkan lebih lanjut rancangan PBM tersebut dalam kerangka untuk meningkatkan kualitas PBM yang sudah dirancang.
  1. Keunggulan Penilaian

Penilaian yang unggul adalah penilaian yang mampu menilai seluruh potensi siswa secara utuh ; baik kognitif, afektif, dan psikomotor. Agar kemampuan penilaian guru terus meningkat seyogyanya sekolah mengadakan pembinaan dan peningkatan profesionalisme guru dan staf agar menjadi tim-kerja yang solid, di mana syarat standar pelayanan minimal untuk pendidikan dan kompetensi guru/staf harus mendapat porsi perhatian yang lebih.

Sedangkan langkah-langkah dalam pengembangan proses belajar mengajar tersebut antara lain terkait pula dengan langkah-langkah yang ditempuh dalam pengembangan ketenagaan, hanya saja materinya difokuskan pada masalah pengembangan kemampuan evaluasi, baik guru maupun kepala sekolah.

  1. Keunggulan Ketenagaan

Komponen ketenagaan dalam sekolah merupakan ujung tombak pencapaian keunggulan sekolah. Keunggulan sekolah tidak saja ditentukan oleh kompetensi ketenagaannya, tetapi juga budaya kerja yang dibangun di dalamnya. Sekolah dikatakan unggul dalam masalah ketenagaan jika  memiliki guru dan staf yang profesional, bekerja sesuai dengan bidang keahlian, dan memiliki karakteristik manusia pembelajar (learning human resource).

Untuk mewujudkan keunggulan dalam masalah ketenagaan dapat dilakukan dengan mengadakan pembinaan skill guru maupun staf secara berkala sesuai dengan kebutuhan. Melalui kegiatan ini diharapkan sekolah dapat mengembangkan budaya kerja dan budaya sekolah unggul.

Langkah-langkah dalam pengembangan ketenagaan, khususnya guru tersebut antara lain sebagai berikut:

  1. Guru yang terpilih untuk ditugaskan di sekolah unggulan perlu mendapat pembinaan khusus, terkait dengan kurikulum/silabus dan rancangan pembelajaran.
  2. Para guru dilatih mengembangkan silabus dan sistem penilaian untuk setiap mata pelajaran dan setiap kelas yang berdiversifikasi.
  3. Para guru juga dilatih melaksanakan rancangan pembelajaran, menerapkan model pembelajaran yang tepat, serta menggunakan sarana/prasarana yang diperlukan dalam PBM.
  4. Pelatihan para guru ini dapat melibatkan guru-guru di sekolah lain di wilayah kecamatan, sehingga sekolah lain dapat “maju bersama” dan menjadi “pesaing” bagi sekolah unggul. Dengan demikian, sesungguhnya seluruh sekolah di kecamatan tersebut dirintis untuk menjadi unggul, walaupun secara resmi hanya 1 sekolah yang dipilih menjadi sekolah unggul untuk setiap jenjang pendidikan.
  5. Pelaksanaan dan biaya pelatihan guru ini disiapkan oleh Dinas Pendidikan atau Pemkot.

Sedangkan langkah-langkah dalam pengembangan ketenagaan, khususnya kepala sekolah antara lain sebagai berikut:

  1. Kepala sekolah di sekolah unggul dapat merupakan kepala sekolah yang sudah ditempatkan di sekolah tersebut. Namun jika kepala sekolah yang bersangkutan dipandang kurang mampu, maka dapat dilakukan seleksi calon kepala sekolah khusus.
  2. Kepala sekolah perlu diberi pembinaan khusus, tentang manajemen dan akademis sekolah unggul, melalui studi banding, magang, diklat, dan lain-lain.
  3. Pelatihan kepala sekolah unggul bisa melibatkan kepala sekolah lain di wilayah kecamatan. Sehingga kepala sekolah lainnya bisa memajukan sekolahnya juga.
  4. Pelaksanaan dan biaya pelatihan kepala sekolah disediakan oleh Pemkot atau Dinas Pendidikan.
  1. Keunggulan Manajemen Sekolah

Dalam manajemen, kepemimpinan merupakan satu fungsi yang sangat esensial. Beberapa ahli berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan inti manajemen. Dijelaskan oleh Turney (1999: 46) bahwa:

”Leadership is a group process through which an individual (the leader) manages and inspires a group working towards the attainment of organisational goals through the application of management techniques. Leadership without management can be mere rethoric,while management without leadership rarely result in creative and sustained changes in an organisation”.[5]

Sejalan dengan pendapat di atas, Syafarudin (2002: 53) mengatakan bahwa ”penerapan manajemen mutu terpadu (baca: MBS) di sekolah-sekolah mutlak ditentukan oleh kepemimpinan dalam organisasi. Kepemimpinan kepala sekolah harus kreatif dan proaktif terhadap perubahan efektif dan berorientasi pada perbaikan mutu berkelanjutan”.[6] Dengan demikian kepemimpinan disadari sebagai satu fungsi penting dalam manajemen guna pencapaian suatu tujuan. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan sikap dan tindakan kepala sekolah untuk menggerakkan orang lain ke arah pencapaian tujuan sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah dibutuhkan untuk memberikan pemahaman, membangun kemauan atau motivasi, serta mengembangkan kemampuan komunitas sekolah dalam mengimplementasikan setiap rencana peningkatan mutu sekolah. Lebih dari itu, kepemimpinan kepala sekolah sangat dibutuhkan untuk melembagakan setiap nilai-nilai mutu. Sikap, perilaku, dan kebijakan kepala sekolah akan menjadi barometer seberapa tinggi nilai-nilai mutu ingin dilembagakan. Sekolah yang unggul adalah sekolah yang mampu menerapkan dan membudayakan MBS (Manajemen Berbasis sekolah) secara tepat dan fleksibel dan mampu membangun budaya sekolah sebagai organisasi belajar (learning organization).

Untuk mewujudkan keunggulan dalam manajemen sekolah dapat dilakukan dengan mengadakan pembinaan manajemen dan kepemimpinan dalam sekolah secara terprogram. Melalui kegiatan ini diharapkan sekolah dapat mengembangkan budaya kerja dan budaya sekolah unggul.

Langkah-langkah dalam pengembangan Manajemen Sekolah tersebut antara lain sebagai berikut:

  1. Manajemen sekolah unggul perlu ditingkatkan dalam segi perencanaan, keutuhan tim, budaya sekolah dan budaya kerja, dan akuntabilitas, sehingga dapat menjadi organisasi pembelajar.
  2. Guru, staf dan kepala sekolah di sekolah tersebut perlu dilatih secara khusus, sehingga terjadi penyatuan secara sinergi, membentuk tim yang dinamis dan kompak, serta solid.
  3. Pelaksanaan dan biaya pelatihan ini disediakan oleh Pemkot atau Dinas Pendidikan.
  4. Pembinaan ini tidak perlu melibatkan guru, staf, dan kepala sekolah dan sekolah-sekolah lain di sekitar sekolah unggul yang bersangkutan.
  1. Keunggulan Sarana dan Prasarana

Keunggulan dalam bidang sarana dan prasarana sekolah ditandai dengan adanya memiliki dan memanfaatkan sumber-sumber belajar dan prasarana pendidikan yang dimiliki atau yang ada di masyarakat untuk kepentingan pembelajaran. Upaya mewujudkan sekolah unggul dapat dilakukan dengan jalan memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada di sekolah atau di sekitar sekolah. Dalam hal ini, sarana dan prasarana ini tidak musti milik sekolah, tetapi juga sarana dan prasarana lain dari instansi atau sekolah lain yang bisa dimanfaatkan dengan kerjasama yang baik.

Langkah-langkah dalam pengembangan Sarana dan Prasarana Sekolah tersebut antara lain sebagai berikut:

  1. Menganalisis kebutuhan sarana-sarana dan prasarana pendidikan yang diperlukan untuk menunjang PBM di sekolah unggul..
  2. Mengidentifikasi sarana dan prasarana pendidikan yang sudah dimiliki oleh sekolah, dan sumber-sumber belajar lainnya yang ada di sekitar sekolah yang bisa dimanfaatkan untuk sekolah unggul tersebut.
  3. Mengadakan sarana dan prasarana pendidikan yang bersifat urgent atau mendesak untuk segera diadakan.
  4. Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan diadakan oleh Dinas Pendidikan atau pemkot selama rintisan sekolah unggulan berlangsung. Pengadaan selanjutnya dilakukan oleh sekolah secara mandiri dengan melibatkan partisipasi orang tua.
  5. Pemanfaatan sumber belajar yang ada di sekitar sekolah dilakukan secara terjadwal atau insidental, sehingga perlu ada komunikasi, konsultasi dan kerjasama antara lembaga. Dinas pendidikan berperan sebagai mediator dalam komunikasi dan kerjasama tersebut.

Dari uraian tentang komponen-komponen sekolah yang harus dikembangkan dalam rangka menciptakan sekolah unggul di atas, Rijono menggarisbawahi beberapa hal antara lain:

  1. Siswa di sekolah unggul tidak selalu harus murid yang sangat cerdas atau “siswa pilihan”.
  2. Sarana dan prasarana di sekolah unggul tidak harus sangat mahal, mewah, atau serba lengkap. Sekolah harus bisa memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada di sekitarnya.
  3. Sekolah unggul tidak harus sekolah yang dibangun khusus dengan biaya operasional 3 – 5 kali sekolah biasa.
  4. Sekolah unggul adalah “sekolah biasa” yang dikelola dengan cara-cara yang “tidak biasa” (unggul).
  1. SEKOLAH UNGGUL “LAHIR BATIN”

“Tanda-tanda” sekolah unggul sebagaimana diungkapkan oleh Rijono di atas masih berorientasi pada pengembangan sekolah yang bersifat materialistik dan belum banyak menyentuh pengembangan sekolah yang bersifat immaterialistik. Pengembangan sekolah dari segi immaterialistik artinya adalah pengembangan yang lebih difokuskan pada bagaimana menciptakan “ruh pendidikan” yang berwujud pada upaya membangun budaya sekolah yang unggul. Budaya sekolah yang dimaksudkan di sini adalah penciptaan suasana lingkungan sekolah yang bersemayam di dalamnya nilai-nilai esensial perpaduan antara nilai-nilai ke-Indonesia-an dan nilai-nilai religiusitas. Dengan kata lain, keunggulan sekolah tidak semata terfokus pada keunggulan lahiriyah, tetapi juga beriringan dengan pencapaian keunggulan batiniyah di dalamnya.

Seiring dengan perkembangan paradigmatik dalam dunia pendidikan, sebutan sekolah unggulan itu sendiri saat ini dirasa kurang tepat, karena penggunaan kata “unggul” menyiratkan adanya superioritas dibanding dengan yang lain. Pemakaian kata ini menunjukkan adanya “arogansi” intelektual yang sengaja ditanamkan di lingkungan sekolah agar pantas untuk disebut memiliki keistimewaan dan berbeda dengan yang lain, dan merasa paling wah di antara yang lain.

Di negara-negara maju, untuk menunjukkan sekolah yang baik tidaklah dengan menggunakan kata unggul (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential.[7] Sebagai contoh misalnya, Cheng (1996) yang lebih mengedepankan penggunaan istilah “sekolah efektif” daripada sekolah unggul sebagai berikut: “School Effectiveness as the capability of the school to maximize school functions or the degree to which the school can perform school functions, when given a fixed amount of school inputs.”[8] Keefektifan Sekolah sebagai kemampuan sekolah memaksimalkan fungsi sekolah atau tingkat untuk sekolah yang mana dapat melakukan fungsi-fungsi sekolah, ketika diberikan sejumlah masukan-masukan sekolah yang telah ditentukan.

Berkaitan dengan sekolah efektif ini, Jalal mengungkapkan karakteristiknya sebagai berikut:

  1. Kepemimpinan yang profesional (professional leadership)
  2. Visi dan tujuan bersama (shared vision and goals)
  3. Lingkungan belajar (a learning environment)
  4. Konsentrasi pada belajar-mengajar (concentration on learning and teaching)
  5. Harapan yang tinggi (high expectation)
  6. Penguatan/pengayaan/pemantapan yang positif (positive reinforcement)
  7. Pemantauan kemajuan (monitoring progress)
  8. Hak dan tanggung jawab peserta didik (pupil rights and responsibility)
  9. Pengajaran yang penuh makna (purposeful teaching)
  10. Organisasi pembelajar (a learning organization)
  11. Kemitraan keluarga-sekolah (home-school partnership).[9]

Karakteristik sekolah efektif di atas selanjutnya dijabarkan oleh Jalal (2010)[10] dalam berbagai dimensi operasional sebagai berikut:

  1. Dimensi Kepemimpinan (Leadership)
  • Iklim dan Atmosphere yang kondusif
  • Tujuan jelas, dapat dicapai, relevan
  • Guru berorientasi pengelolaan kelas yang baik
  • Inservice Training yang efektif untuk guru

Dengan adanya kepemimpinan yang kuat dan membumi dalam lingkungan sekolah akan melahirkan suasana sekolah yang nyaman dan kondusif sehingga sekolah dapat dengan mudah menetapkan tujuan secara jelas, rasional dan memungkinkan untuk dapat dicapai. Melalui kepemimpinan yang kuat itu pula guru dapat diberdayakan agar dapat mewujudkan pengelolaan kelas dengan baik, sekaligus untuk menjaga kesinambungan kualitas, guru dapat diprogramkan untuk mengikuti kegiatan inservice training dalam upaya meningkatkan profesionalismenya.

  1. Dimensi Pendukung
  • Konsensus terhadap nilai-nilai dan tujuan
  • Rencana stratejik dan koordinasi
  • Staf kunci yang berkelanjutan
  • Dukungan Dinas Pendidikan dan Pemda

Berkaitan dengan dimensi pendukung ini, sekolah yang efektif mensyaratkan adanya titik temu di antara penyelenggara sekolah terhadap nilai-nilai yang mencirikan kekhasan sekolah berikut tujuan yang hendak dicapainya. Dalam dimensi pendukung ini, penyelenggara sekolah haruslah memiliki rencana stratejik untuk menjalan program-program sekolah yang dibarengi dengan adanya kegiatan-kegiatan koordinatif antar penyelenggara sekolah. Agar program-program sekeolah dapat berjalan secara berkesinambungan dibutuhkan staf kunci yang mampu menjalankannya terus-menerus. Di samping itu, yang tak kalah pentingnya dalam dimensi pendukung ini adalah keterlibatan Dinas Pendidikan dan Pemda baik berkenaan dengan masalah pendanaan maupun kebijakan-kebijakan yang konstruktif.

  1. Dimensi Efisiensi
  • Penggunaan waktu pengajaran yang efektif (Intensitas Interaksi)
  • Lingkungan sekolah dan kelas yang disiplin
  • Evaluasi dan umpan balik secara berkelanjutan
  • Kegiatan kelas terstruktur dengan baik
  • Petunjuk pembelajaran yang baik
  • Penekanan terhadap pengetahuan dan skill yang tinggi
  • Kesempatan untuk belajar secara maksimal

Sekolah efektif (sekolah unggul) mensyaratkan adanya prioritas pada dimensi efisiensi pada proses belajar mengajar yang dalam hal ini ditandai dengan adanya pemanfaatan waktu pengajaran yang efektif, yakni terjadinya intensitas interaksi antar siswa dan guru. Di samping itu sekolah efektif juga menekankan pentingnya budaya disiplin seluruh penghuni sekolah, mulai dari kepala sekolah sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) sampai penjaga sekolah sebagai mitra sekolah. Sekolah efektif juga ditandai dengan adanya kegiatan evaluasi disertai kegiatan umpan balik dari hasil evaluasi secara berkesinambungan untuk menjaga kualitas yang telah dicapai.

Sekolah yang efektif juga mensyaratkan adanya implementasi kegiatan kelas yang tersusun dengan baik, dimulai dari kegiatan apersepsi hingga kegiatan evaluasi. Melalui kegiatan kelas yang terstruktur itu guru dapat menekankan pengetahuan dan skill apa yang perlu dicapai sesuai dengan standar kompetensi lulusannya.

  1. Dimensi Efficacy
  • Harapan untuk mencapai prestasi tinggi
  • Reward untuk prestasi dan kinerja tinggi
  • Kerjasama dan interaksi dalam kelas
  • Keterlibatan semua staf dalam peningkatan kinerja sekolah
  • Otonomi dalam melaksanakan proses pembelajaran sekolah
  • Guru yang emphaty dan memiliki kemampuan interpersonal dengan siswa
  • Menekankan kepada pekerjaan rumah siswa
  • Akuntabilitas terhadap hasil belajar
  • Interaksi sesama guru yang baik yang efektif untuk guru

Dari kesemua dimensi di atas, dimensi efficacy (kemanfaatan) menjadi semacam conditio sine qua non (prasyarat mutlak) yang harus mendapat perhatian lebih jika sebuah sekolah hendak mencapai titik keefektifan atau keunggulan. Bahwa setiap penyelenggara sekolah, diawali dari kepala sekolah haruslah memiliki rasa percaya diri yang tinggi (high confident) bahwa dengan rasa kebersamaan mereka akan mampu mencapai prestasi sekolah, di mana jika warga sekolah mampu menunjukkan prestasi, maka pimpinan haruslah mau menyediakan reward agar warga sekolah yang berprestasi itu semakin terpacu untuk terus meningkatkan prestasinya dan seterusnya.

Demikian gambaran mengenai sekolah efektif, bahwa sekolah yang dikategorikan unggul itu sejatinya adalah sekolah yang mampu menyelenggarakan berbagai kegiatan ataupun program sekolah secara efektif. Penggunaan istilah sekolah unggul pada sebagian orang memang masih menyisakan perdebatan tentang “pantas” tidaknya istilah sekolah unggul itu kita pakai. Misalnya ada yang berpendapat bahwa dari sisi ukuran muatan keunggulan, sekolah unggulan di Indonesia juga belum memenuhi syarat. Sekolah unggulan di Indonesia hanya mengukur sebagian kemampuan akademis. Dalam konsep yang sesungguhnya, sekolah unggul adalah sekolah yang secara terus menerus meningkatkan kinerjanya dan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal untuk menumbuh-kembangkan prestasi siswa secara menyeluruh. Berarti bukan hanya prestasi akademis saja yang ditumbuh-kembangkan, melainkan potensi psikis, fisik, etik, moral, religi, emosi, spirit, adversity dan intelegensi.[11]

Dengan demikian menjadi jelas bahwa esensi sekolah unggul (baca: sekolah efektif) adalah sekolah yang mampu mencapai keseimbangan antara pencapaian kemampaun akademis dan non-akademis, yakni bukan hanya kemampuan kognitif-psikomotorik saja tetapi juga potensi psikis, fisik, etik, moral, religi, emosi, spirit, adversity dan intelegensi. Inilah sebenarnya yang disebut sebagai sekolah yang benar-benar memiliki keunggulan “lahir-batin”, yakni sekolah yang tidak saja mampu mewujudkan kelebihan-kelebihan lahiriyah, materalistik, dan fasilitatif tetapi juga mampu mengedepankan keistimewaan-keistimewaan batiniyah, immaterialistik dan spiritualistik yang mencirikan kedalaman spiritual dan keagungan akhlak.

Gambaran mengenai sekolah unggul “lahir batin” di atas dapat divisualisasikan seperti bagan di bawah ini:

 

GAMBAR 1: Bagan Sekolah Unggul “Lahir Batin”

Dalam gambar di atas, pada lingkaran besar tertera 10 (sepuluh) poin yang mencirikan sekolah tersebut unggul.

  1. Suasana Nyaman
  2. Visi dan Misi Akademis yang jelas
  3. Lingkungan yang berakhlak
  4. Tersedianya guru-guru yang unggul
  5. Kepemimpinan yang kuat
  6. Standar yang tinggi
  7. Penugasan terhadap siswa
  8. Evaluasi dan umpan balik
  9. Orangtua terlibat
  10. Terciptanya masyarakat kecil yang indah

Sedangkan pada lingkaran kecil yang terdapat dalam lingkaran besar terdapat 5 (lima) pointer yang dibingkai oleh 10 (sepuluh) pointer dan membentuk sebuah satu kesatuan “Ruh” sekolah unggul “lahir batin”, yaitu:

  1. Kasih sayang
  2. Kejujuran
  3. Keikhlasan
  4. Keagamaan
  5. Kekeluargaan

Sekolah yang unggul “lahir batin” di samping terealisasikan di dalamnya 10 hal sebagaimana tersebut di atas akan menjadi sekolah yang kokoh dan berkualitas lahir batin pula jika ditopang oleh pembudayaan 5 (lima) sikap yaitu: kasih sayang, kejujuran, keikhlasan, keagamaan, dan kekeluargaan yang terinternalisasi kedalam hati setiap penghuni sekolah, mulai dari kepala sekolah, komite, guru, staf, siswa dan masyarakat sekitarnya. Pembudayaan kelima sikap tersebut dapat dipioneri oleh kepala sekolah sebagai pemimpin dan manajer sekolah yang memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, visioner, mengayomi, memiliki networking yang luas dan sebagainya.

Dalam rangka mewujudkan sekolah unggul “lahir batin” ini, kepala sekolah memegang peran sentral di dalamnya, baik sebagai pemimpin maupun sebagai manajer di sekolah. Mulyasa (2003) menyebutkan peran kepala sekolah menjadi tujuh dengan singkatan EMASLIM yaitu kepala sekolah sebagai (1) Educator, (2) Manager, (3) Administrator, (4) Supervisor, (5) Leader, (6) Inovator, (7) Motivator.[12] Dari pendapat tersebut di atas, peran dan fungsi kepala sekolah dapat digambarkan bahwa kepala sekolah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap efektivitas dan efisiensi penyelengaaraan pendidikan di sekolah yang dipimpinnya. Dengan mencermati subtansi setiap peran dan fungsi di atas, dapat diringkas menjadi lima peran dan fungsi kepala sekolah yang paling esensial yaitu ELMSI: educator, leader, manager, supervisor dan inovator.

Untuk itu berkaitan dengan peran penting di atas, kepala sekolah haruslah memiliki tujuh  sikap atau perilaku yang harus dimiliki kepala sekolah agar tercipta kehidupan sekolah yang sehat, kondusif dan menunjang kinerja sekolah, yaitu:

(1) memiliki visi yang jelas, (2) lebih mengandalkan pendekatan kolaboratif, (3) responsif dan proaktif dalam menanggapi apa yang terjadi di luar sekolah, (4) keteladanan dan konsistensi dalam menegakkan aturan, (5) banyak aktif dan turun ke bawah, (6) banyak memberikan ”ganjaran sosial”, (7) menciptakan berbagai wahana atau kegiatan yang dapat mengembangkan ketrampilan pro sosial, keimanan dan ketaqwaan siswa.[13]

Dalam uraian yang lebih spesifik, untuk mewujudkan sekolah unggul “lahir batin” itu, melalui peran seorang kepala sekolah diharapkan dapat mendorong tercapainya perubahan paradigma dari pengembangan kompetensi personel sekolah merujuk pada pendapat Castetter (1996) sebagai berikut:[14]

MENINGGALKAN

MENUJU

  1. Pendekatan Top Down
  2. Pendekatan sempit dalam pengembangan staf
  3. Proyek terisolasi
  4. Control
  5. Proyek Off the Shelf
  6. Perubahan yang diawali sistem
  7. Tidak memperhatikan budaya sekolah
  8. Rencana yang tersentralisasi
  9. Pemecahan masalah untuk anggota staf
  10. Penekanan pada individu
  11. Penekanan pada pengalaman dan persiapan
  12. Tidak ada perbedaan dalam pengembangan outcome
  13. Pengembangan staf pengajaran (guru)
  14. Hanya menekankan pada self fulfillment
  15. Pengembangan sebagai kegiatan
  16. Program yang tidak terorganisasikan dan sporadic
  17. Dukungan keuangan terbatas
  18. Fokus pada remediasi
  19. Inisiatif administratif
  20. Pendekatan formal
  21. Program yang direncanakan sebelumnya
  22. Mengandalkan pada agen eksternal/agensi
  23. Berasumsi ada pengaruh positif dari program
  24. Pengalaman sebelumnya dan intuisi
  25. Pengembangan peran
  26. Perencanaan berbasis acak
  • Evaluasi sistem
  • Proyek yang terfragmentasi, sementara, dan tidak terkoordinasi
  • Keterbatasan penggunaan teknologi elektronik
  • Metode dan tipe penyajian terbatas
  • Kurangnya aplikasi berfikir sistem
  1. Pendekatan Bottom Up
  2. Pendekatan komperhensif dalam pengembangan staf
  3. Program-program interdependen dan interaksi
  4. Pemberdayaan
  5. Program-program sesuai kebutuhan
  6. Perubahan-perubahan yang diawali oleh sistem dan staf
  7. Kolaborasi untuk merubah budaya sekolah
  8. Rencana berbasis lokasi
  9. Pengembangan kapasisteas staf untuk memecahkan masalah
  10. Penekanan pada individu dan tim
  11. Penekanan pada kinerja
  12. Penekanan pada outcome pengembangan staf
  13. Pengembangan semua kelompok personel
  14. Tujuan untuk sistem, unit, individu
  15. Pengembangan sebagai proses yang terus menerus
  16. Strategi yang sistematis dan sasaran yang didefiniskan dengan baik
  17. Dukungan lokal, regional, pusat
  18. Fokus pada remediasi dan pertumbuhan
  19. Inisiatif individual administrasi
  20. Pendekatan formal dan informal
  21. Staf berpartisipasi dalam perencanaan
  22. Dukungan yang memadai dari dalam atau luar organisasi
  23. Mengevaluasi pengaruh aktual
  24. Eksplorasi teoritis
  25. Pengembangan peran dan karir
  26. Perencanaan berbasis sistem
  • Sistem dan evaluasi
  • Model pengembangan staf
  • Kebutuhan penggunaan teknologi elektronik
  • Metode dan tipe penyajian tidak terbatas
  • Menggunakan pemikiran sistem untuk merubah sistem

Gambar  2: Kecenderungan Nilai Pengembangan Staf (Castetter, 1996)

Dengan demikian manifestasi dari sekolah unggul “lahir batin” dapat tercapai jika sekolah tersebut memiliki kepemimpinan kepala sekolah yang kuat (baca: berani) sebagai inspirator dan penggerak warga sekolah dalam melakukan perubahan signifikan menuju pencapaian kultur sekolah yang unggul baik lahiriyah maupun batiniyah.

  1. PENUTUP

Mewujudkan sekolah unggul secara lahiriyah dan batiniyah bukanlah sekedar mimpi, tapi ia akan menjadi cita-cita mulia yang akan dapat direalisasikan manakala para penyelenggara sekolah memiliki “keberanian” untuk keluar dari kebiasaan lama yang stagnatif. Berkaitan dengan hal ini A. Chaedar Alwasilah tentang menyatakan:

Hakikat pendidikan adalah mengubah budaya. Apa yang sering dilupakan banyak orang adalah bahwa sekolah-sekolah kita telah memiliki budaya sekolah (”school culture”) yaitu seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang sudah mendarah daging dan menyejarah sejak negara ini merdeka. Tanpa keberanian mendobrak kebiasaan ini, apa pun model pendidikan dan peraturan yang diundangkan, akan sulit bagi kita untuk memperbaiki mutu pendidikan.[15]

 Pernyataan A. Chaedar di atas mengingatkan kita kembali pada satu hal prinsipil mengenai sekolah kita, yaitu bahwa sekolah-sekolah kita itu sejujurnya masing-masing telah memiliki sebuah entitas yang khas berupa budaya sekolah (school culture), di mana budaya sekolah itu sangat dipengaruhi oleh 3 unsur utama yang membentuknya, yaitu: (1) watak founding fathers-nya, (2) kultur masyarakat di sekitarnya, dan (3) aturan-aturan yang diturunkan oleh para policy maker terhadap sekolah itu. Jadi memang secara umum, semua sekolah di Indonesia ini memiliki kesamaan karakter dasar yang turun-temurun sejak negara ini merdeka, akan tetapi sekolah-sekolah kita itu secara khusus memiliki keberbedaan kekhasan yang dibentuk oleh ketiga unsur tersebut di atas. Jika secara kebetulan founding fathers dan kultur masyarakat memiliki karakter kuat yang sangat peduli terhadap pentingnya arti sebuah pendidikan, maka sekolah itupun tentu akan menjadi sekolah yang tidak “kering” karena sejak awal sudah terbentuk idealisme karakternya yang sarat dengan nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang membumi dan mengakar.

Adalah benar bahwa pendidikan itu sejatinya merupakan wahana untuk mewujudkan change of culture (perubahan budaya). Namun perubahan budaya oleh sekolah itu sangat membutuhkan keberanian dari para penyelenggara sekolah untuk membuat sebuah terobosan-terobosan baru yang inovatif dan quality oriented.

Jika sekolah mampu merealisasikan diri menjadi sekolah yang unggul secara lahiriyah maupun batiniyah, maka ketika kepala sekolah, guru, atau siswa setiap datang dan tiba di depan pintu gerbang sekolah mereka akan membayangkan, “saya akan memasuki tempat yang luar biasa, karena itu saya harus bisa melakukan hal-hal yang istimewa di dalamnya”. Seakan-akan pula, mereka mampu merasakan “hawa sejuk” sekolah dan mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk menjaga dan melestarikan “kesejukan” sekolah tempat di mana mereka mengajar dan belajar itu.

Dengan kepemimpina kepala sekolah yang kuat, yang memiliki keberanian untuk melakukan perubahan-perubahan secara sadar, terstruktur dan kompak, memiliki jiwa mengayomi dan “membumi”,  maka akan lebih mudah baginya untuk mengajak seluruh staf administrasi, guru, dan siswa-siswi bersama-sama memiliki “mimpi indah” berupa cita-cita kuat untuk meraih keunggulan sekolah dalam segala aspeknya. Mulai dari kepala sekola, staf administrasi, guru, siswa sampai penjaga dan petugas kebersihan sekolah memiliki potensi untuk berkontribusi positif dalam proses pendidikan. Komitmen bersama ini begitu penting untuk dirumuskan bersama, karena ia merupakan energi yang dahsyat untuk menciptakan sekolah yang unggul “lahir dan batin”.

—————————————————————

Written by: Imam Hanafie el-Arwany

Published on Al-Rabwah Journal, Jurnal Ilmu Pendidikan, STAIS Kutim

Edisi: vol. VI, Number 2, November 2, 2012

Ilustrasi: Education Nezt

————————————————————–

 

DAFTAR RUJUKAN

Al-Wasilah, A. Chaedar, Tujuh Ayat Sekolah Unggul, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/032006/28/0901.htm

Andrini, Vera Septi, Paradigma Pengembangan Sekolah Unggulan, http://www.vilila.com, 19 September 2010

Castetter, William B., The Human Resource Function in Educational Administration, Edisi ke-6, (New Jersey, Prent_ce-Hall, Inc.: 1996), hal. 245

Jalal, Fasli, Ph.D, Strategi Dan Arah Pengembangan Sekolah Unggul, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional, Makalah

Kartadinata S. Beberapa Pokok Pikiran Tentang Konsep Sekolah Unggul, Mimbar Pendidikan, XV (3), 1996

Stoll dan Fink D., Changing Our School: Changing Education, (Philadelphia, Open University Press, 2000)

Mohrman, Susan Albers, et.al., School Based Management: Organizing for High Performance, (San Francisco, 1994)

Mulyasa, E.,  Menjadi Kepala Sekolah Profesional: Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, (Bandung, Remaja Rosdakarya: 2003

Rijono, Nanang, Mengembangkan Sekolah Unggul di Samarinda, Makalah.

Supriadi, Dedi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru., (Yogyakarta, Adicita Karya Nusa: 1999

Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan Konsep, Strategi, dan Aplikasi, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia: 2002)

Turney, C.,. (et al), The School Manager, (Australia: Allen and Unwin: 1999)

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, (Sinar Grafika, 2003)

Yin Cheong Cheng, School effectiveness and school-based management: A mechanism for development, (London, U.K.: The Falmer Press, 1996)

[1] L. Stoll dan Fink D., Changing Our School: Changing Education, (Philadelphia, Open University Press, 2000)

[2] Kartadinata S. Beberapa Pokok Pikiran Tentang Konsep Sekolah Unggul, Mimbar Pendidikan, XV (3), 1996, hal. 24-25

[3] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, (Sinar Grafika, 2003)

[4] Nanang Rijono, Mengembangkan Sekolah Unggul di Samarinda, Makalah.

[5] C. Turney,. (et al), The School Manager, (Australia: Allen and Unwin: 1999),  hal. 46

[6] Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan Konsep, Strategi, dan Aplikasi, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia: 2002), hal. 53

[7] Susan Albers Mohrman, et.al., School Based Management: Organizing for High Performance, (San Francisco, 1994), hal. 81.

[8] Yin Cheong Cheng, School effectiveness and school-based management: A mechanism for development, (London, U.K.: The Falmer Press, 1996), pp.1-203

[9] dr. Fasli Jalal, Ph.D, Strategi Dan Arah Pengembangan Sekolah Unggul, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional, Makalah

[10] Ibid., hal. 5

[11] Vera Septi Andrini, Paradigma Pengembangan Sekolah Unggulan, http://www.vilila.com, 19 September 2010

[12] Mulyasa,  Menjadi Kepala Sekolah Profesional: Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, (Bandung, Remaja Rosdakarya: 2003)., hal. 98-120.

[13] Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru., (Yogyakarta, Adicita Karya Nusa: 1999), hal. 449

[14] William B. Castetter, The Human Resource Function in Educational Administration, Edisi ke-6, (New Jersey, Prent_ce-Hall, Inc.: 1996), hal. 245

[15] A. Chaedar Al-Wasilah, Tujuh Ayat Sekolah Unggul, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/032006/28/0901.htm

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Manajemen, Artikel Pendidikan dan tag , . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *