Seni Musik Dalam Pandangan Islam

PENDAHULUAN

Asal muasal Seni pada awalnya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari suatu ilmu. Term-term abad ini banyak menyandarkan seni sebagai intisari ekspresi dari kreativitas manusia. Seni memiliki nilai relatif sehingga sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu pekerja seni (seniman) dengan leluasa dapat memilih batasan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya. Namun demikian, banyak pekerja seni (seniman) mendapat pengaruh dari orang lain dari masa lalu, dan juga beberapa pedoman yang telah muncul untuk mengungkap gagasan tertentu lewat simbolisme dan bentuk, misalnya media bakung yang bermakna kematian dan mawar merah yang bermakna cinta.

ari segi kebahasaan, Istilah senipada mulanya berasal dari kata Ars (latin) atau Art (Inggris) yang artinya kemahiran. Ada juga yang menyatakan kata seni berasal dari bahasa Belanda yang artinya genius atau jenius. Sementara kata seni dalam bahasa Indonesia berasal dari kata sangsekerta yang berarti pemujaan. Sementara itu dalam bahasa tradisional Jawa, seni artinya Rawit (pekerjaan yang rumit- rumit/kecil).

Menurut Elkins (1995) sebagaimana diulas dalam Britanica Online, seni didefinisikan sebagai: “The use of skill and imagination in the creation of aesthetic objects, environments, or experiences that can be shared with others.” By this definition of the word, artistic works have existed for almost as long as humankind: from early pre-historic art to contemporary art; however, some theories restrict the concept to modern Western societies. (penggunaan keterampilan dan imajinasi dalam penciptaan obyek estetis, lingkungan, atau pengalaman yang bisa dibagi dengan orang lain.” Dengan definisi kata, karya-karya artistik telah ada selama hampir sepanjang manusia: dari seni pra-sejarah awal untuk seni kontemporer, namun beberapa teori membatasi konsep masyarakat Barat modern”.

Konsep seni terus berkembang sejalan dengan berkembangnya kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang dinamis. Beberapa pendapat tentang pengertian seni:

  1. Ensiklopedia Indonesia: Seni adalah penciptaan benda atau segala hal yang karena kendahan bentuknya, orang senang melihat dan mendengar,
  2. Aristoteles: seni adalah kemampuan membuat sesuatu dalam hubungannya dengan upaya mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan oleh gagasan tertentu,
  3. Ki Hajar Dewantara: seni adalah indah, menurutnya seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dan hidup perasaannya dan bersifat indah hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia lainnya,
  4. Akhdiat K. Mihardja: seni adalah kegiatan manusia yang merefleksikan kenyataan dalam sesuatu karya, yang berkat bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani sipenerimanya.
  5. Erich Kahler: seni adalah suatu kegiatan manusia yang menjelajahi, menciptakan realitas itu dengan symbol atau kiasan tentang keutuhan “dunia kecil” yang mencerminkan “dunia besar”.

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa seni pada hakikatnya adalah hasil karya manusia yang bernilaikan estetik yang dapat dilihat, didengar, dan dirasakan sebagai produk dari kreativitas manusia dalam memadukan potensi akal dan perasaan sehingga dapat dipelajari dan dinikmati umat manusia.

Bernyanyi dan bermain musik merupakan bagian dari cabang seni, karenanya tinjauan terhadap definisi seni diperlukan sebagai proses pendahuluan untuk memahami secara komprehensif mengenai seni musik. Menurut Al-Baghdadi (1991), seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pengamatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama).

Diskursus mengenai seni tidak dapat dilepaskan dari perbincangan mengenai keindahan (aesthetics). Adalah sudah menjadi fitrahnya bahwa manusia menyukai keindahan. Keindahan gambar atau pemandangan yang ditangkap melalui indera penglihatan, keindahan gerakan yang dihasilkan oleh seni tari, dan keindahan suara yang dinikmati melalui perantara pendengaran adalah beberapa produk seni yang dilahirkan melalui perantara alat komunikasi yang dapat dinikmati oleh indera manusia. Demikian halnya dengan nyanyian, puisi, yang juga melambangkan keindahan, tidak sedikit manusia yang menyukainya.

Estetika pada dasarnya merupakan salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni. Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda.

Berkaitan dengan seni musik (instrumental art), seni musik selalu dihubungkan dengan alat-alat musik dan irama yang dihasilkan oleh alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik.

Sedangkan seni vokal adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal seperti: gitar, biola, piano, dan lain-lain. Atau pula dapat digabungkan dengan alat-alat musik kombinatif seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya. Sementara musik itu sendiri adalah bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang. Definisi hakiki tentang musik juga bermacam-macam, antara lain:

  • Bunyi/kesan terhadap sesuatu yang ditangkap oleh indera pendengar
  • Suatu karya seni dengan segenap unsur pokok dan pendukungnya.
  • Segala bunyi yang dihasilkan secara sengaja oleh seseorang atau kumpulan dan disajikan sebagai musik.

Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa seni dan musik sangat bertalian erat karena seni musik itu sendiri merupakan cabang dari seni. Seni dan musik keduanya mengandung nilai estetik sebagai buah dari kreativitas manusia yang pada akhirnya merupakan bagian dari kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karya dan karsa umat manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, seni musik sering digunakan oleh sebagian orang untuk menyampaikan ide-idenya, mengusung pesan-pesan kritis yang bernilai edukatif, religi, nasionalisme, bahkan propaganda misi-misi tertentu dan sebagainya, disamping dengan maksud menyuguhkan sisi-sisi entertainnya.

 

SENI MUSIK DALAM PANDANGAN ISLAM

Bagaimana Islam memandang seni musik? Pembahasan kearah ini aka difokuskan pada dua hal, yakni: Pertama, bagaimana pandangan Islamtentang nyanyian (lagu), dan kedua, bagaimana pandangan Islam tentang musik.

Pertama, pandangan Islam tentang nyanyian

Berkaitan dengan hukum menyanyikan lagu, para ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya, sebagian mengharamkan dan sebagian lagi menghalalkannya dengan berpegang kepada dalilnya masing-masing. Dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian disandarkan pada QS. Luqman: 6 yang artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (QS. Luqmân: 6)

Di samping dalil yang disandarkan pada Al-Qur’an, terdapat beberapa dalil yang disandarkan pada beberapa Hadits yaitu: Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” Dan Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda: “Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.

Sedangkan dalil-dalil yang menghalalkan nyanyian di antaranya di dasarkan pada QS. Al-Maidah: 87 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (QS. al-Mâ’idah: 87). Hukum halalnya menyanyikan lagu juga disandarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori yang berbunyi :

وَعِنْدَهَا قَيْنَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاذَفَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثٍ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ مِزْمَارُ الشَّيْطَانِ مَرَّتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَإِنَّ عِيدَنَا هَذَا الْيَوْمُ

Artinya:“Saat itu di hadapan ‘Aisyah radliallahu ‘anha terdapat dua budak perempuan hasil tawanan kaum Anshar dalam perang Bu’ats sedang bernyanyi. Maka Abu Bakar berkata; “Seruling-seruling syetan.” Dia mengucapkannya dua kali. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Biarkanlah wahai Abu Bakar. Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya dan hari raya kita adalah hari ini.” (HR. Bukhari, Hadits No: 3638)

Dalam hadits yang lain riwayat Ahmad disebutkan:

مَرَّ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى حَسَّانَ وَهُوَ يُنْشِدُ الشِّعْرَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُنْشِدُ الشِّعْرَ قَالَ كُنْتُ أُنْشِدُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ أَوْ كُنْتُ أُنْشِدُ فِيهِ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ

Artinya: “Umar Radliyallahu’anhu melawati Hassan saat tengah bersyair di masjid kemudian ‘Umar berkata; Di masjid Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam syair disenandungkan? Hassan berkata; ‘Saya pernah bersyair dan di dalam masjid ada orang yang lebih baik darimu (yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam).” (HR. Ahmad, Hadits No. 20927)

Uraian tentang dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya) menunjukkan bahwa kedua pendapat baik yang mengharamkan maupun yang menghalalkan memperlihatkan adanya kontradiksi (ta’arudh) antara satu dalil dengan dalil lainnya. Untuk menyikapi kontradiksi ini diperlukan telaah atas kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah populer di kalangan jumhur ulama dalam rangka menyikapi secara arif beberapa dalil yang tampak kontadiktif tersebut. Imam asy-Syafi’i (dalam asy-Syaukani) menyatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu.

Menyikapi kontradiksi antara kedua kelompok dalil hadits di atas, keduanya seyogyanya dikompromikan, dengan tidak bermaksud mengkesampingkan salah satunya. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, kedua dalil yang “kontradiktif” di atas keduanya dapat diberikan tempat dan penginterpretasian yang proporsional. Keputusan ini dapat dianggap lebih tawazun daripada harus mengakomodir salah satu kelompok dalil tetapi diiringi dengan menyingkirkan kelompok dalil yang lain. Berkaitan dengan hal ini, Syaikh Dr. Muhamad Husain Abdullah mengambil suatu diktum fiqih:“Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima).

Pengambilan diktum fiqih ini menurut an-Nahbani (1953) didasarkan pada sebuah alasan bahwa: “suatu dalil itu pada dasarnya adalah untuk diamalkan dan bukan untuk ditanggalkan (Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal)”.

Dari kedua dalil tentang hukum nyanyian di atas, baik yang mengharamkan maupun menghalalkan dapat ditarik sebuah konklusi bahwa dalil yang mengharamkan masih berkisar pada hukum umum (ijmal) nyanyian. Sedangkan dalil yang membolehkan terfokus pada hukum khusus atau pengecualian (tkahsis), yakni nyanyian dibolehkan sesuai dengan tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan oleh syara’, seperti pada hari raya. Dengan ungkapan lain, bahwa dalil yang mengharamkan nyanyian merujuk kepada keharaman nyanyian secara mutlak. Sementara itu, dalil yang menghalalkan merujuk kepada bolehnya nyanyian didasarkan pada keharusan adanya batasan atau kriteria yang membolehkannya (muqayyad).

Dengan demikian dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan secara moderat bahwa nyayian itu ada yang diharamkan dan ada pula yang dihalalkan (baca: dibolehkan), sebuah nyanyian dihukumi haram apabila di dalam nyanyian itu terkandung unsur-unsur kemaksiatan atau kemunkaran, baik dalam bentuk perkataan (qouliyah), perbuatan (fi’liyah), atau dalam bentuk sarana (asy-yâ’), misalnya dalam praktek nyanyian itu disertai dengan minuman-minuman keras (khamr), zina, penampakan aurat, campur baur pria-wanita (ikhtilath), atau pesan-pesan dalam syairnya bertentangan dengan syara’, misalnya mempropagandakan ajakan berpacaran, mendorong pergaulan bebas, mempropagandakan sekulerisme, liberalisme dan sebagainya.

Sedangkan nyanyian yang dihukumi halal adalah nyanyian yang mengandung kriteria bersih dari unsur-unsur kemaksiatan atau kemunkaran, misalnya syair-syair yang mengandung pujian atas sifat-sifat Allah SWT, memotivasi untuk meneladani akhlak Rasulullah SAW, mengajak bertaubat kembali ke jalan Allah SWT dari perbuatan-perbuatan maksiat, mendorong orang untuk menuntut ilmu, menceritakan keagungan Allah dalam penciptaan alam semesta, dan sebagainya.

 

Kedua, pandangan Islam tentang musik

Bagaimana Islam memandang musik? Secara tekstual (nash) terdapat satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya, yaitu alat musik berupa rebana (ad-duff atau al-ghirbal) berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai berikut:

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ وَالْخَلِيلُ بْنُ عَمْرٍو قَالَا حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ خَالِدِ بْنِ إِلْيَاسَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami dan Al Khalil bin Amru keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus dari Khalid bin Ilyas dari Rabi’ah bin Abu ‘Abdurrahman dari Al Qasim dari ‘Aisyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Umumkanlah pernikahan ini, dan tabuhlah rebana.” (HR. Ibnu Majah, Hadits No. 1885)

Selain alat musik berupa rebana, seperti gitar, piano, drum, gamelan dan sebagainya, ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya. Pendapat ulama tentang alat musik rebana itu terbelah menjadi dua kelompok, yakni ada sebagian ulama yang mengharamkan dan ada sebagian pula yang membolehkannya. Bagi kelompok hadits yang mengharamkan alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya menurut Syaikh al-Albani adalah dha’if. Menurut al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad menyetujui pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hazm (dalam al-Baghdadi, 1991):Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa memainkan alat musik jenis apapun hukum dasarnya adalah mubah(dibolehkan). Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.

Selanjutnya mengenai hukum mendengarkan musik, Islam memandang bahwa mendengarkan musik hukumnya adalah mubah, baik itu berupa musik yang dikombinasikan dengan nyanyian (vokal), mendengar secara langsung melalui pertunjukan atau konser sepanjang tidak ada unsur kemaksiatan dan kemunkaran yang terkandung di dalamnya. Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya adalah haram. Akan tetapi jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah.

 

KESIMPULAN

Seni dan musik keduanya mengandung nilai estetik sebagai buah dari kreativitas manusia yang pada akhirnya merupakan bagian dari kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karya dan karsa umat manusia.

Dalam Islam, nyayian ada yang diharamkan dan ada pula yang dihalalkan.Sebuah nyanyian dinyatakan haram apabila di dalam nyanyian itu terkandung unsur-unsur kemaksiatan atau kemunkaran, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, atau dalam bentuk sarana, misalnya dalam praktek nyanyian itu disertai dengan minuman-minuman keras, zina, penampakan aurat, adanya campur baur pria-wanita, atau pesan-pesan dalam syairnya bertentangan dengan syara’, misalnya mempropagandakan ajakan berpacaran, mendorong pergaulan bebas, mempropagandakan sekulerisme, liberalisme dan sebagainya. Sementara itu, nyanyian dihalalkan adalah nyanyian yang mengandung kriteria bersih dari unsur-unsur kemaksiatan atau kemunkaran, misalnya syair-syair yang mengandung pujian atas sifat-sifat Allah SWT, memotivasi untuk meneladani akhlak Rasulullah SAW, mengajak bertaubat kembali ke jalan Allah SWT dari perbuatan-perbuatan maksiat, mendorong orang untuk menuntut ilmu, menceritakan keagungan Allah dalam penciptaan alam semesta, dan sebagainya

Berkaitan dengan mendengarkan musik, Islam memandang hukumnya adalah mubah, baik itu berupa musik yang dikombinasikan dengan nyanyian (vokal), mendengar secara langsung melalui pertunjukan atau konser sepanjang tidak ada unsur kemaksiatan dan kemunkaran yang terkandung di dalamnya. Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya adalah haram. Akan tetapi jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah atau dibolehkan.

Wallahu ‘alam bishawab

Referensi:

http://www.crayonpedia.org/mw/Pengertian_seni_,_cabang-cabang_seni,_unsur unsur_seni,_sifat_dasar_seni_secara_umum_7.1

http://rheartlova.blogspot.com/2009/06/pengertian-seni-istilah-seni-pada.html

James Elkins, Art History and Images That Are Not Art”, The Art Bulletin, Vol. 47, No. 4 (Dec. 1995).

Modul Seni Budaya, (Samarinda: SMKN 1 Samarinda, 2008)

Abdurrahman Al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta: Gema Insani Press, 1991). Hal. 13

http://id.wikipedia.org/wiki/Estetika

Ibid., hal. 14

http://id.wikipedia.org/wiki/Musik

Sebagian dalil-dalil yang dikemukakan para ulama baik yang menghalalkan musik maupun yang mengharamkannya sebagian dikemukakan oleh Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu (Musik. http://www.ashifnet.tripod.com),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):

Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasanal-QurthubiIbnu AbbasdanIbnu Mas’udAyat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah QS. an-Najm: 59-61; dan QS. al-Isrâ’: 64(Abi Bakar Jabir al-JazairiHaramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).

  1. Bukhari,Shahih Bukhari,Hadits no. 5590.
  2. Ibnu Abi Dunyadanal-Baihaqi, (Hadits mauquf).

Terdapat juga beberapa hadits yang intinya membolehkan nyanyian seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Aisyah ra, bahwa Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata: “Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra]. Dan dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata: “Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, Juz II, hal. 485].

Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr, tth.), hal. 275

Muhammad Husain Abdullah,. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut: Darul Bayariq, 1995). hal. 390

Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Cetakan II. (Al-Quds: Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir, 1953), hal. 239

Lihat Abdurrahman Al-Baghdadi, Op. Cit., Hal. 64-65, dan Muhammad Asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds: Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah, tth), hal. 102-103

Ibid., hal. 64-65 Asy-Syuwaiki, hal. 103

Lihat Abdurrahman Al-Jaziri,. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah (Haramkah Musik dan Lagu?). Juz II. Qism Al-Mu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr, 1999), hal. 52. Lihat juga Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta: Penerbit Widjaya, 1983), hal. 24

Syaikh al-Albani, beliau bernama lengkap Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin al-Haj Nuh al-Albani (lahir di Shkoder, Albania; 1914 / 1333 H – meninggal di Yordania; 1 Oktober 1999/21 Jumadil Akhir 1420 H; umur 84–85 tahun). Beliau dikenal sebagai salah seorang ulama Islam di era modern yang dikenal sebagai ahli hadits. Beliau dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya lantaran ketekunan dan keseriusan mereka terhadap ilmu, khususnya ilmu agama dan ahli ilmu (ulama). Ayah al-Albani, yaitu al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syariat di ibu kota negara Turki Usmani (yang kini menjadi Istanbul). Syaikh al-Albani wafat malam Sabtu, 21 Jumada Tsaniyah 1420 H, atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999.

Di samping itu ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul HaditsImam an-Nawawi dalam Al-IrsyadImam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul HaditsImam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liqas-Sakhawy dalam Fathul Mugitsash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim dan lain-lain.

Syaikh Nashiruddin al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad Lil Imam al-Bukhari, diterjemahkan oleh Herry Wibowo dan Abdul Kadir Ahmad dalam Koreksi Ilmiah Terhadap Karya Imam Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), hal. 259.

Abdurrahman al-Baghdadi, Op Cit., hal. 57

Ibid., hal. 74

———————————————————————-

Written by: Imam Hanafie el-Arwany

Published on Manahij Journal, Vol. IV No. 1, Mei 2011 / ISSN: 1979-0589

Memo: 1 Mei 2011

Ilustrasi: Republika

 

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Keislaman dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *