Tiwul dan Riyadhah

Tiwul adalah sejenis makanan pokok pengganti nasi beras yang terbuat dari gaplek. Sedangkan gaplek sendiri terbuat dari ketela pohon atau singkong yang dikupas bersih kemudian dijemur hingga kering. Dari singkong kering inilah kemudian tiwul dibuat menjadi makanan pengganti nasi beras. Sebagai makanan pokok, kandungan kalori tiwul lebih rendah dibanding beras namun cukup memenuhi sebagai bahan makanan pengganti beras. Tiwul dipercaya mencegah penyakit maag, perut keroncongan, dan lain sebagainya. Dalam sejarahnya, tiwul pernah digunakan untuk makanan pokok sebagian penduduk Indonesia pada masa penjajahan Jepang.

Tiwul jaman sekarang ini sudah mulai langka seiring dengan dengan makin meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dulu sekitar tahun 1980-an tiwul hampir-hampir bisa ditemukan di mana saja, bahkan menjadi salah satu makanan favorit selain nasi beras dan nasi jagung. Pada masa itu nasi beras pernah menjadi bahan makanan pokok yang mahal dan bergengsi. Jika pada masa itu orang bisa memenuhi kebutuhan pokoknya dengan nasi beras, bisa dipastikan saat itu tingkat kesejahteraannya bisa dikatakan memadai. Jadi kesimpulannya orang menjadi konsumen tiwul pada masa itu adalah karena berada dalam kondisi terpaksa (daripada kelaparan).

Bagi saya, tiwul itu merupakan simbol keprihatinan, penderitaan, kesengsaraan dan sederet istilah-istilah lain yang berkonotasi ketidakberdayaan. Dalam kondisi perekonomian yang demikian susah pada masa itu, tiwul telah banyak berjasa dalam mempertahankan kelangsungan hidup sebagian masyarakat pada wilayah-wilayah tertentu yang tengah dilanda krisis ekonomi.

Pada masa-masa sulit itu cita rasa tiwul tidak kalah dengan makanan cepat saji semisal hamburger atau pizza (mungkin karena ekonomi sulit), sehingga orangpun (termasuk saya sendiri) sedemikian qona’ah menikmati gurihnya nasi goreng tiwul. Saya tentu tidak pernah melupakan bagaimana lezatnya nasi goreng tiwul yang digoreng dengan cita rasa pedas dan dimakan dengan krupuk uyel kemudian menikmatinya dalam kondisi hujan rintik-rintik dan udara dingin.

Lantas apa hubungannya antara tiwul dengan riyadhah? al-Bastany (dalam al-Munjid fi lughah wa ‘alam) dalam konteks pendidikan, kata riyadhah diartikan mendidik jiwa anak dengan akhlak yang mulia, sedangkan Riyadhah dalam tasawuf berarti latihan rohani dengan cara menyendiri pada hari-hari tertentu untuk melakukan ibadah dan tafakur mengenai hak dan kewajibannya, sedangkan riyadhah dalam disiplin olahraga berarti latihan fisik untuk menyehatkan tubuh.Imam al-Ghazali membagi riyadhah menjadi dua macam, yakni riyadhah al-jisim, palatihan dalam segi jasmani atau olahraga, dan riyadhah al-nafs, pelatihan dalam segi rohani atau olah batin.

Dalam kaitannya dengan tiwul, riyadhah memiliki benah merah secara substansial dengan eksistensi tiwul yang menjadi konsumsi sebagian masyarakat kita dulu. Bahwa perilaku makan tiwul masyarakat jaman dulu ketika berada pada masa krisis ekonomi sering diniatkan untuk mengekspresikan keprihatinan yang para orangtua dulu sering mengistilahkannya dengan tirakatan, tidak makan nasi beras karena memang tidak mampu membeli sehingga bentuk ‘ketidakberdayaan’ ini dialihkan dalam konteks tirakat.

Bentuk konversi konsumsi tiwul kedalam konteks tirakat ini tentu bukan karena alasan ketidakberdayaan menghadapi krisis ekonomi semata, tapi lebih dari itu bahwa perilaku ini adalah sebagai bentuk ekspresi keprihatinan, sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur yang mendalam atas karunia Tuhan karena mampu bertahan dalam kondisi yang sulit.

Harus diakui bahwa pada saat ini tiwul telah berjasa dalam membentuk manusia-manusia tangguh yang tahan banting terhadap perubahan-perubahan kondisi jaman. Mereka yang pernah merasakan suka-dukanya hidup di “jaman tiwul” insya Allah mereka adalah orang-orang yang optimistis hidupnya, memiliki sikap qoana’ah, dan pandai mengimplementasikan rasa syukurnya kepada Tuhan. Beruntunglah mereka yang pernah hidup di jaman tiwul dan pernah menikmati tiwul, lalu ia tetap sabar dan selalu optimistis bahwa kelak akan ada perubahan-perubahan kearah yang lebih baik.

 

Written by: Imam Hanafie el-Arwany

Tulisan ini dipublikasikan di Hikmah dan tag , . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *