“Sekolah Kering”

Menjadi unggul (excellent) adalah dambaan tiap sekolah. Tidak ada satupun institusi sekolah yang tidak ingin sekolahnya unggul. Dengan segala problem yang dihadapi dan bagaimanapun keadaan suatu sekolah ketika ditanya apakah sekolah anda ingin bisa mencapai suatu titik kenggulan, tentu saja secara serempak sekolah-sekolah itu akan memberikan jawaban seragam, unggul itu perlu dan penting! Tapi meskipun “unggul” itu menjadi cita-cita dan harapan sekolah, banyak sekolah yang tidak tahu dari mana harus memulakan mengejar keunggulan.

Kebanyakan terjebak pada rutinitas sekolah yang begitu menguras tenaga sehingga ‘tak sempat’ untuk memikirkannya, atau bahkan ada yang pasrah dengan keadaan yang sudah akrab dan mentradisi: nrimo ing kahanan (‘ikhlas’ menerima keadaan) dan nrimo ing pandum (‘ikhlas’ menerima apa yang sudah ada).

Ini sebuah ambiguitas, ingin unggul tapi tak mau bersusah payah, tak ingin repot-repot kalau untuk menuju ke sana (titik keunggulan) harus banyak menguras ini-itu yang belum tentu profitable, baik dari segi kredit “koin” maupun poin. Sikap seperti inilah yang menyebabkan sekolah-sekolah “jalan di tempat”, mengalami kejumudan secara kontinu, meskipun aba-aba “maju jalan!” seringkali disuarakan para stakeholder sekolah maupun para pembuat kebijakan pendidikan, biarpun menteri datang silih berganti dan kurikulum mengalami bongkar pasang. Alhasil, sekolah akan tetap menjadi menara gading alias “kering”, tanpa banyak sentuhan-sentuhan inovasi, improvisasi, dan orientasi.

Deskripsi di atas melahirkan terminologi “sekolah kering”. Istilah ini mungkin agak tepat digunakan (karena lebih etis) daripada menggunakan term “sekolah tandus”. Kalau “tandus” artinya tak bisa ditanami kembali atau useless (tiada guna), sedangkan “kering” kemungkinan masih dapat ditanami kembali karena hanya pohonnya yang mati, sedangkan tanahnya masih subur. Hanya diperlukan penanam profesional untuk mengatasinya. Penanam yang dimaksudkan di sini tentu saja para stakeholder sekolah yang punya semangat the unity of mission and destination (kesatuan misi dan tujuan).

Ketiadaan atau minimnya gerakan-gerakan terstruktur dari para stakeholder sekolah itulah yang menyebabkan sekolah menjadi “kering”, wabilkhusus kering dari upaya-upaya pemberdayaan dan pengejawantahan 8 (delapan) standar pendidikan yang telah digariskan oleh undang-undang. “sekolah kering” semacam ini juga sering dianalogikan sebagai sekolah la yamutu wala yahya, yaitu sekolah yang nafasnya senin-kemis, kurang bermutu tapi banyak menelan biaya, atau sudah tidak bermutu tapi masih suka bergaya.

Untuk mengatasi fenomena “kekeringan” yang menggelayuti sekolah-sekolah kita itu diperlukan sebuah keberanian ekstra untuk bangkit dari kejumudan. Kejumudan yang sudah sedemikian mengkultur itu harus didobrak beramai-ramai dengan melibatkan seluruh stakeholder sekolah dengan segenap potensi yang dimilikinya. Tanpa keberanian mendobrak “kekeringan” ini, perbaikan mutu pendidikan kita akan sulit terwujud meskipun telah bejibun model pendidikan dan peraturan-peraturan yang diundangkan.

Marilah kita renungkan wejangan guru besar UPI Bandung, A. Chaedar Alwasilah tentang perlunya keberanian ini: “Hakikat pendidikan adalah mengubah budaya. Apa yang sering dilupakan banyak orang adalah bahwa sekolah-sekolah kita telah memiliki budaya sekolah (”school culture”) yaitu seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang sudah mendarah daging dan menyejarah sejak negara ini merdeka. Tanpa keberanian mendobrak kebiasaan ini, apa pun model pendidikan dan peraturan yang diundangkan, akan sulit bagi kita untuk memperbaiki mutu pendidikan.

Pernyataan A. Chaedar di atas mengingatkan kita kembali pada satu hal prinsipil mengenai sekolah kita, yaitu bahwa sekolah-sekolah kita itu sejujurnya masing-masing telah memiliki sebuah entitas yang khas berupa budaya sekolah (school culture), di mana budaya sekolah itu sangat dipengaruhi oleh 3 unsur utama yang membentuknya, yaitu:

  1. (1) watak founding fathers-nya,
  2. (2) kultur masyarakat di sekitarnya, dan
  3. (3) aturan-aturan yang diturunkan oleh para policy maker terhadap sekolah itu.

Jadi memang secara umum, semua sekolah di Indonesia ini memiliki kesamaan karakter dasar yang turun-temurun sejak negara ini merdeka, akan tetapi sekolah-sekolah kita itu secara khusus memiliki keberbedaan kekhasan yang dibentuk oleh ketiga unsur tersebut di atas. Jika secara kebetulan founding fathers dankultur masyarakat memiliki karakter kuat yang sangat peduli terhadap pentingnya arti sebuah pendidikan, maka sekolah itupun tentu akan menjadi sekolah yang tidak “kering” karena sejak awal sudah terbentuk idealisme karakternya yang sarat dengan nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang membumi dan mengakar.

Adalah benar bahwapendidikan itu sejatinya merupakan wahana untuk mewujudkan change of culture (perubahan budaya). Namun perubahan budaya oleh sekolah itu sangat membutuhkan keberanian dari para penyelenggara sekolah untuk membuat sebuah terobosan-terobosan baru yang inovatif dan quality oriented.

Agar sekolah-sekolah kita tidak “kering” dan berubah menjadi sekolah yang sejuk dan hijau-ranau dalam arti terejawantahkannya 8 (delapan) standar pendidikan, menurut A. Chaedar setidaknya ada 7 (tujuh) “ayat-ayat pendidikan” yang musti kita renungkan dan kita aksikan jika kita benar-benar ingin mencapai suatu titik keunggulan.

Pertama, visi dan misi sekolah yang jelas. Visi sekolah itu sesungguhnya merupakan “ruh” yang seharusnya bisa menjiwai para penghuni sekolahnya, mulai dari komite, kepala sekolah, guru, sampai siswa-siswi yang menggunakan jasa sekolah itu. Menjiwai dalam arti visi itu bisa menghujam jauh kedalam relung hati masing-masing penghuni sekolah, mampu diartikulasikan secara realistis kedalam tindakan-tindakan yang nyata dan berkarakter, serta mampu menghiasi paradigma berpikir dan bertindak seluruh penghuni sekolah yang pada akhirnya menjadi tradisi yang membudaya sesuai dengan visi yang dicanangkan bersama.

Tidak dipungkiri, selama ini kebanyakan sekolah-sekolah kita jarang atau bahkan tidak pernah dibiasakan “mendendangkan” visi sekolah itu dalam kehidupan sehari-hari sekolah. Mungkin karena visi yang dirancang oleh sekolah itu terlalu panjang, njlimet dan susah dipahami sehingga penyelenggara sekolah sendiri tidak paham di mana “titik tekan” atau aksentuasi visi sekolah yang harus dibiasakan. Idealnya visi sekolah itu dirancang sesederhana mungkin, dengan kalimat yang pendek, padat tapi berisi sehingga setiap siswa yang ditanya ‘apa visi sekolah kamu?’ mereka bisa menjawab dengan segera.

Realitasnya kebanyakan visi sekolah kita itu dirancang sedemikian panjang dan rumit yang “menyengsarakan” penghuni sekolah untuk memahaminya. Padahal visi sekolah itu dirancang tidak untuk dihafalkan, tetapi untuk dipahami dan dihayati, kemudian diamalkan. Sehingga ketika kepala sekolah, guru, atau siswa setiap datang dan tiba di depan pintu gerbang sekolah mereka akan membayangkan, “saya akan memasuki tempat yang luar biasa, karena itu saya harus bisa melakukan hal-hal yang istimewa di dalamnya”.

Seakan-akan pula, mereka mampu merasakan “hawa sejuk” sekolah dan mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk menjaga dan melestarikan “kesejukan” sekolah tempat di mana mereka bekerja dan belajar itu. Oleh karena itu, visi sekolah seyogyanya disusun secara sederhana, pendek, padat berisi dan mudah dipahami oleh seluruh penghuni sekolah misalnya, “SD Cerdas & Berakhlak”, “SMK Berbasis Real Skill”, “MA Berbasis 3 Bahasa” atau “SMA Cerdas, Terampil, dan Berakhlak Mulia” dan sebagainya.

Sedangkan dalam hal misi, kita lebih senang memakai embel-embel imtaq (imam dan taqwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang membuat misi sekolah menjadi kabur dan tidak jelas karena makna keduanya terlalu filosofis, remang-remang dan tidak operasional. Seharusnya misi itu dua atau tiga pernyataan sebagai operasionalisasi visi, misalnya “membangun siswa yang cerdas, terampil, dan berakhlak mulia,” dan sebagainya. Namun demikian, tentu ada prioritas yang diunggulkan dalam rentang waktu secara terencana yang dinyatakan eksplisit dalam rencana kerja tahunan sekolah.

Kedua, komitmen tinggi untuk unggul. Jika visi dan misi sekolah telah menjadi “ruh” sekolah, mendara-daging dalam setiap pribadi penghuni sekolah, maka akan lebih mudah bagi seorang kepala sekolah untuk mengajak seluruh staf administrasi, guru, dan siswa-siswi bersama-sama memiliki “mimpi indah” berupa cita-cita kuat untuk meraih keunggulan sekolah dalam segala aspeknya. Mulai dari kepala sekola, staf administrasi, guru, siswa sampai penjaga dan petugas kebersihan sekolah memiliki potensi untuk berkontribusi dalam proses pendidikan, demi mewujudkan “mimpi indah” sekolah kita itu.

Komitmen bersama ini begitu penting untuk dirumuskan bersama, karena ia merupakan energi yang dahsyat untuk menciptakan perubahan dari budaya nrimo ing kahanan (‘ikhlas’ menerima keadaan) dan nrimo ing pandum (‘ikhlas’ menerima apa yang sudah ada) menjadi budaya luar biasa, unggul dan berorientasi pada perwujudan mutu sekolah.

Written by: Imam Hanafie el-Arwany

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Pendidikan dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *