Dulu sewaktu kecil, saat saya berusia kurang lebih 10 tahun, saya suka disuruh ngidek-ngidek (mengurut atau memijit memakai kaki) bapak, kalo bapak kecapekan sepulang kerja. Sambil ngidek-ngidek itu, biasanya bapak suka mengajak ngobrol, entah karena ingin mengajari anaknya sesuatu, atau supaya anaknya betah berlama-lama memijit bapaknya, tapi saya tak ambil pusing, yang penting bapak senang dan bisa reda capeknya sehabis bekerja mencari rizki buat anak-anaknya.
Suatu ketika bapak pernah bertanya kepada saya yang masih lugu saat itu. “Nanti kalau kamu sudah besar mau jadi apa, Le (Le: Thole, panggilan sayang untuk anak laki-laki)? Dengan polos dan tanpa pikir panjang lalu saya jawab sekenanya: “Saya pingin jadi menteri agama, Pak!”. “Wah bagus itu” ujar bapak tanpa memberi penjelasan lebih bahwa jabatan itu setinggi mustahil diperoleh orang awam seperti keluarga bapak.
Tapi yang namanya cita-cita bagi anak kecil itu wajar-wajar saja dan tidak ada yang aneh, ia boleh mencita-citakan diri seperti apapun, tinggal bagaimana orangtua “membesarkan hati” atas pilihan cita-cita anaknya. Pilihan cita-cita masa kecil saya itu dilatarbelakangi oleh kekaguman saya kepada beberapa menteri agama kala itu, mulai dari Prof. Dr. H. Mukti Ali, Alamsyah Ratu Perwiranegara, hingga H. Munawir Sjadzali, MA.
Kala itu saya mengenal beliau-beliau itu dari beberapa majalah terbitan lawas, Pandji Masjarakat hadiah dari paman saya, yaitu saudara kandung bungsu Bapak saya, Abu Nasir (waktu kecil saya biasa memanggil beliau Lik Abu), tokoh Muhammadiyah dari Pasuruan, Jawa Timur (Kini Ketua PD Muhammadiyah Pasuruan). Majalah Pandji Masjarakat itu edisi terbitan tahun 70-an sejak saya belum lahir, hingga tahun 80-an yang masih menggunakan ejaan lama. Dari majalah inilah saya mulai mengenal”hiruk-pikuk” Indonesia dimulai sejak tahun 60-an, karena beberapa edisi dari majalah itu banyak mengupas mengenai kejadian-kejadian pasca Gestapu.
Kegemaran membaca saat kecil itu dipicu oleh seringnya paman saya membawa oleh-oleh buku jika berkunjung ke rumah. Biasanya buku-buku yang diberikan kepada saya beragam, mulai dari buku-buku fiksi sampai buku-buku religi. Di antara buku-buku itu yang menarik adalah buku-buku religi bergambar atau komik seperti kisah-kisah para wali, nabi rasul, dan kisah-kisah religi lainnya.
Tak jarang paman saya juga membawakan buku-buku cerpen atau novel. Di antara buku religi yang paling saya sukai adalah buku karangan Bey Arifin, Kisah 25 Nabi dan Rasul yang menceritakan kisah-kisah nabi mulai Nabi Adam AS sampai Nabi Muhammad SAW. Saking sukanya, meski buku Bey Arifin itu sudah habis saya baca, biasanya tiap pulang sekolah saya suka berulang-ulang membacanya.
Di buku itu, kisah Nabi Muhammad SAW lah yang jadi favorit bacaan saya. Sedangkan buku-buku (kitab) religi lainnya adalah mulai dari kitab yang berbau israiliyat hingga kitab fiqih seperti Kitab Mawwa’idhul ‘Usfuriyah karya Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Al-‘Usfuri, Kitab Durratun Naashihiin karya Syekh Ustman bin Hasan bin Ahmad Asy Syakir Alkhaubawiyiyi, Kitab Matan Jurumiyah karya Abu ‘Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Dawud Ash-Shanhaji An-Nahwi, Kitab Syafinatun najah karya Syekh Salim bin Abdullah bin Saad bin Sumair Al hadhrami dan Sullamut Taufiq karya Syekh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim Ba’alawi, Kitab Aqidatul Awam karya Syair Syekh Ahmad Marzuki al-Maliki dan sebagainya.
Dari bacaan buku-buku religi inilah yang kelak akan membentuk paradigma saya dan berasumsi bahwa kesimpulan dari ruh buku-buku itu selanjutnya mendorong saya memilih bercita-cita menjadi menteri agama yang menurut saya saat itu merupakan pilihan cit-cita yang religius.
Seiring dengan perjalanan waktu yang terus bergulir, ditambah dengan makin terbukanya cakrawala wawasan dalam berbagai bidang baik pendidikan, sosial, politik, dan kebudayaan, sayapun mulai “meninggalkan” cita-cita masa kecil itu karena menurut saya cita-cita itu “irasional” dan saya menganggap cita-cita kala itu hanyalah “bunga-bunga” masa kecil yang bisa dan biasa dialami oleh siapa saja ketika hendak menemukan jati dirinya.
Ini bukan berarti saya tidak mau “diamini” dengan cita-cita itu, tapi mencoba mennyelaraskan antara das sein dan das solen-nya, antara mimpi dan realita. Artinya cita-cita saat kita dewasa kini haruslah kita realistiskan bahwa cita-cita kita itu haruslah disepadankan dengan potensi yang paling kuat yang kita miliki. Bukan sekedar menunggu haisu la yahtasif, tidak hanya pasrah dengan keadaan, tapi kita mencoba menggali fitrah yang bersemayam dalam diri kita. Itulah yang harus kita kedepankan, sebagaimana Allah telah mengingatkan: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” (QS. Ar Ra’d:11)
Sejak duduk di bangku kuliah di tahun 1994, mulailah ekspedisi pencarian jati diri saya lakukan. Ada beberapa bidang yang saat itu saya coba gali dan kembangkan, yaitu bidang jurnalistik, seni, san leadership. Di bidang jurnalistik saya awali dengan mengikuti beberapa pelatihan jurnalistik dari tingkat lokal hingga regional. Pasca mengikuti pelatihan itu saya mulai mencoba-coba menulis di beberapa surat kabar. Tulisan saya yang pertama dimuat di surat kabar Manuntung (sekarang Kaltim Post) berjudul Catatan Kecil Untuk Mahasiswa Baru edisi tahun 1995 dan beberapa tulisan di SKH Suara Kaltim yang kebanyakan mengulas politik mahasiswa. Puncak karir jurnalistik saya adalah realisasi lahirnya Bulletin Cakrawala, media mahasiswanya STAIN Samarinda di tahun 1998.
Di bidang seni puncaknya adalah pendirian Sanggar Seni Puisi Musik “Lentera Nurani” STAIN Samarinda yang menjiplak gaya Cak Nun dan Kyai Kanjeng-nya, dan puncak eksibisinya adalah saat diundang oleh Gubernur Suwarna AF untuk tampil kolosal di Lamin Etam Kantor Gubernur Kaltim, di mana pada pementasan puncak ini saya mengkolaborasikan antara musik modern dengan musik tradisional ditambah dengan gabungan group rebana putri STAIN Samarinda dan group tari koreografi asuhan Ibu Alm. Siti Kaltsum.
Sedangkan di bidang leadership saya awali dengan mengikuti beberapa pelatihan kepemimpinan, sekaligus berkecimpung dalam beberapa organisasi, di mana puncak suksesnya adalah saya dipercaya menduduki beberapa posisi penting seperti Ketua Umum Senat Mahasiswa STAIN Samarinda (sekarang BEM), Ketua Gema Kosgoro, Koorbid, Pengembangan Intelektual dan Seni PC PMII Samarinda dan lain-lain.
Alhasil, kesimpulan dari tulisan ini adalah memiliki cita-cita atau mimpi itu penting, karena mimpi atau cita-cita itu adalah tanda bahwa kita hidup. Jika ingin diakui eksistensi kita, maka kita harus punya mimpi, mimpi untuk sebuah perubahan, baik dalam skala kecil maupun besar. Kita kumpulkan ide-ide segar, kemudian menebarkannya kepada siapa saja yang belum memiliki mimpi.
Berawal dari yang kecil inilah, suatu saat ia akan menjadi besar. Menabur ilmu, menebar rahmat, rela memberi dan ikhlas berbagi. Mau JADI APA nak? Jadilah diri sendiri, Jadilah yang terbaik, untuk kemaslahatan umat di masa depan! Sebab Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni. Dishahihkan Al Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah),
- Written by: Imam Hanafie el-Arwany
- memo: 24 juni 2015