Merekayasa Masa Depan PMII (The Seven Solutions)

Pendahuluan

Tulisan ini sebenarnya hanyalah hasil dari proses “raba-raba” semata dan bukan merupakan produk otentik dari suatu riset yang mendalam, karenanya mohon ma’af jika ternyata contents dari tulisan mismatching dengan realitas yang ada, karena memang sejak beberapa tahun ini penulis tidak banyak atau bahkan tidak pernah ikut terlibat secara langsung dalam mendesain dan memotret wajah PMII, khususnya Komisariat STAIN Samarinda. Posisi penulis yang mungkin tepat dalam hal ini hanyalah sebatas sebagai observer non-partisipan saja, bukan sebagai sosok yang ikut “bertanggung jawab” secara langsung terhadap perubahan demi perubahan yang ada dalam tubuh PMII Komisariat STAIN Samarinda dalam beberapa periode belakangan ini.

Sosok yang menurut penulis tepat untuk dihadirkan sebagai pihak yang seharusnya ikut “bertangung jawab” dalam merumat wajah PMII Komisariat STAIN Samarinda berikut berbagai perubahan dan perkembangannya adalah seperti Sahabat Mukti Ali, Sahabat Herman A. Hasan, Sahabat Saparun Bakar ‘radliyallahu ‘anhum’ dan beberapa “gembong” PMII Komisariat STAIN Samarinda sesudahnya, karena merekalah sebenarnya The real personages yang pernah berperan secara langsung baik sebagai leader maupun sebagai manager yang ikut andil dalam men-survive-kan atau men-stagnan-kan PMII kita.

Namun demikian, karena kecintaan dan juga karena penulis merupakan salah satu kader yang pernah dibesarkan (meskipun sebenarnya orang kecil) oleh PMII Komisariat STAIN Samarinda, maka penulis mencoba untuk turut serta memberikan sumbang saran (meskipun ternyata nanti hanya saran sumbang) dan meskipun hanya dengan meraba-raba, tetapi inilah buah pikiran kecil dari seorang kader.

PMII Komisariat STAIN Samarinda dalam beberapa tahun terakhir ini, sejak penulis mengenal dan “bersetubuh” di dalamnya, persoalan yang dihadapi atau yang sering dijadikan sebagai main discourse adalah masih berkutat pada persoalan bagaimana “me-militansi-kan” (baca: kaderisasi) kader-kadernya. Siapapun mengakui bahwa STAIN Samarinda merupakan lumbungnya PMII Samarinda, siapapun percaya bahwa STAIN Samarinda merupakan jantungnya PMII Samarinda. Jika Aceh disebut sebagai “serambi Mekahnya” Indonesia, maka STAIN Samarinda pun dapat disepadankan sebagai “serambi Mekkahnya” PMII Samarinda. Jadi jika saja orang mau menghancurkan PMII, cukup dengan “mem-bom” STAIN Samarinda, maka tamatlah riwayat PMII Samarinda secara de jure.  Untung saja tak ada orang yang tertarik melakukannya.

Kembali kepada soal memilitansikan kader tadi, bahwa memperbincangkan PMII Komisariat STAIN Samarinda sama dengan membicarakan benang kusut yang tak jelas mana ujung-mana pangkalnya. Kalau berbicara kuantitas, maka itu There is no serious problem, sebab sejak penulis mengenal PMII hanya itulah yang dapat kita banggakan karena kuantitas kita yang semakin menanjak atau paling tidak kita telah ‘berprestasi’ dalam “mempertahankan” kuantitas yang ada. Tetapi jika kita berbicara tentang kualitas kader, maka itulah sebenarnya The serious problem. Kualitas kader yang kita kehendaki sesungguhnya bukan saja pada bagaimana kemampuan kader dalam menghafal dan atau “mengkitabkuningkan”AD/ART dan NDP saja, tetapi tentu lebih dari itu kualitas kader yang mumpuni yang kita impikan itu adalah bagaimana seorang kader mampu mendarah-dagingkan semua “ajaran-ajaran” PMII dalam kehidupan praksis yang bersentuhan dengan persoalan bagaimana mendesain masa depan PMII, society needs, dan nation future building.

Oleh karena itu, marilah kita membuat sebuah konsensus bersama bahwa siapapun, di manapun dan dengan latar belakang apapun baik sahabat-sahabat yang alumni ataupun yang masih aktif  atau yang pernah memiliki sense of crisis terhadap eksistensi dan masa depan PMII untuk sama-sama “berfikir bagaimana menata” PMII kedepan, bukan “menata bagaimana berfikir”. Kita pasti akan mengadakan penataan bagaimana berfikir –dalam hal membangun dan mengembangkan wacana agama, sosial, politik, budaya dst– terhadap kader-kader kita tentu saja setelah kita sukses dalam menata infrastruktur PMII itu sendiri. Ibaratnya, janganlah kita berobsesi untuk menjadi ‘penghuni langit’ kalau saat ini kita belum bisa ‘merambah bumi’.

Karena itu, tulisan ini cenderung penulis arahkan pada bagaimana menata (How to manage) realitas problem yang dihadapi PMII hari ini dan kemarin untuk menentukan eksistensi PMII dalam 5-10 tahun kedepan. Lima tahun pertama adalah masa untuk melakukan penerapan gagasan-gagasan manajerial, dan lima tahun berikutnya adalah masa untuk mentradisikan gagasan-gagasan manajerial tersebut dalam rangka membangun komitmen, profesionalisme, dan kematangan intelektual kader. Tulisan ini tentunya juga tidak bermaksud mengobrak-abrik “kemapanan” PMII saat ini, namun lebih hanya sebagai upaya penulis untuk turut andil ‘mensinkronkan’ gagasan-gagasan konstruktif-futuristik semata agar eksistensi PMII kedepan lebih mudah tervisikan secara jelas. Oleh karena itu, sebelumnya penulis mohon ma’af jika tulisan ini menyisakan ketidak-enakan kepada pembaca, karena mungkin saja tulisan ini sarat dengan jumlah al-kinayah, karena itu pulalah penulis mohon tulisan ini dibaca dalam konteks fi ‘alamatin tanshish (dalam tanda kutip).

Problem PMII Hari Ini

Membaca buku Nusron Wahid yang berjudul Gerakan Mahasiswa dan Godaan Politik: Problematika Transisi Demokrasi di Indonesia, sesungguhnya kita sedang dihadapkan pada beberapa persoalan yang saat ini ‘seharusnya’ menjadi tantangan besar bagi eksistensi PMII kedepan. Beberapa tantangan itu di antaranya adalah kurangnya penumpang pada gerbong intelektual dan advokasi sosial di lingkungan PMII, dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah langkanya (tidak adanya) penumpang berwajah PMII pada gerbong profesional dan entrepreneur. Keprihatinan Nusron ini misalnya dapat kita baca pada pernyataannya di bawah ini:

Ironis memang, di saat market demand tenaga kerja global memerlukan sejumlah Human Resources profesional yang mempunya kemampuan teknokratik dan spirit entrepeneurship, komunitas PMII tidak (belum) menyediakan kader-kadernya untuk mengisi posisi tersebut dan segenap warga pergerakan yang pandangannya terfokus pada dunia politik terpaksa menjadi “pengangguran politik”. Harga yang harus dibayar untuk “impotensi” ini amatlah mahal. Warga pergerakan akan selamanya marjinal dan tidak mampu mengalami proses mobilitas vertikal (Nusron Wahid, 2003: 46)

Ini berarti bahwa dari kelima tipologi warga pergerakan hasil jepretan Nusron yakni: 1) pemain wacana (intelektual-akademik), 2) gerakan massa, 3) advokasi sosial, 4) aktivitas politik, dan 5) profesional-entrepreneur tersebut terdapat dua gerbong yang kelebihan penumpang, yaitu gerbong pemain wacana dan aktivitas politik, sementara gerbong lainnya sepi (tidak ada) penumpangnya. Ini tentu akan sangat mengkhawatirkan karena tuntutan pasar yang kian tinggi dan ketat, sementara kita kekurangan SDM pada bidang yang menjadi tuntutan pasar.

Bagaimana dengan PMII Komisariat STAIN Samarinda? tampaknya jepretan Nusron di atas masih compatible dengan realitas yang ada di lingkungan PMII Komisariat STAIN Samarinda. Warga kita saat ini tampaknya juga sedang berlomba-lomba memasuki dunia perwacanaan, sekaligus berancang-ancang memasuki dunia aktivitas politik. Mengapa bisa termobilisir ke dua gerbong tersebut? Ini boleh jadi karena warisan tradisi dari pendahulu-pendahulunya. Realitas ini tentu saja tidak salah, tapi jika tak ada counterbalance position akan terjadi ketidakseimbangan Human Resource PMII untuk wilayah yang dibutuhkan pasar.

Oleh karena itulah, agar tak terjadi penjomplangan di masa-masa yang akan datang, maka harus ada upaya pembenahan internal secara gradual dalam tubuh PMII Komisariat STAIN Samarinda agar kelak kader-kader PMII kita tak tersedot seluruhnya ke dua gerbong tersebut. Upaya pembenahan internal tersebut menurut penulis harus diawali dari upaya memperkokoh aspek infrastruktural PMII terlebih dulu berbarengan dengan usaha memapankan kualitas dan militansi kader.

Kalau penulis ditanya apa sebenarnya problem yang saat ini dihadapi PMII Komisariat STAIN Samarinda, menurut penulis jawabannya gampang-gampang susah. Disebut gampang karena kita tinggal membuat statement begini-begitu, susah karena toh jika ada berbagai bargaining solution pun belum tentu ada kesepakatan untuk mengaplikasikannya. Secara umum problem saat ini yang dihadapi PMII dan harus segera dijadikan santapan diskusi bersama adalah sebagai berikut:

  1. Manajemen keorganisasian yang belum tertata secara elegan.

Diakui atau tidak, dari segi manajemen organisasi, kebanyakan kader-kader PMII yang terlibat dalam kepengurusan komisariat dalam beberapa periode belum menunjukkan keprofesionalannya. Apakah hal ini karena jarang atau bahkan tidak adanya kegiatan yang secara khusus diadakan untuk membekali para kader dengan skill manajemen organisasi, seperti pelatihan manajemen organisasi, kegiatan up grading kepengurusan, studi banding ke beberapa komisariat yang implementasi manajerialnya sudah mapan, dan sebagainya?

Salah satu kelemahan di bidang manajemen organisasi misalnya praktik administrasi yang belum tertata secara rapi. Sepanjang periode kepengurusan komisariat sudah banyak data-data otentik organisasi yang tidak sempat atau bahkan tidak dapat terarsipkan dengan baik. Sudah begitu sering inventaris-inventaris komisariat dan data-data historis organisasi yang raib entah kemana. Seharusnya inventaris dan data-data organisasi tersebut dari periode ke periode dapat diarsipkan dengan baik agar kader-kader berikutnya dapat memanfaatkan dan mempelajarinya.

Uraian di atas pada dasarnya berkaitan dengan persoalan bagaimana membangun dan mengembangkan sumber daya manusia mumpuni di bidang manajemen. Kita mungkin masih ingat apa kata Sahabat Akhmad Bagdja bahwa penguatan institusional harus ditopang oleh kemampuan memanage dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia (Human Resource) dengan melakukan diversifikasi area garapan dan peran yang dipilih. Katanya lagi, potret diri menjadi sesuatu yang niscaya agar PMII tetap konsisten dengan agenda-agenda pembelaan dan perjuangan terhadap rakyat marginal (Nusron Wahid: 2003).

  1. Ketiadaan sekretariat permanen

Baiti jannati (rumahku surgaku). Sekretariat ibarat rumah, tempat bernaung bagi penghuninya, tempat berkumpul, berdiskusi antar sesama kader dan pusat mengelola jalannya roda organisasi. Bertahun-tahun PMII komisariat STAIN Samarinda, bahkan PC PMII berikut PKC-nya belum pernah memiliki skretariat permanen. Padahal banyak potensi infrastruktural yang kita miliki yang jika kita benar-benar serius mau menggalinya sejak dulu kita tidak akan ‘hidup’ berpindah-pindah seperti suku Badui atau manusia purba zaman nomaden.

Tahun 2001 ketika penulis studi ke Kota Malang, PMII Komisariat STAIN Malang masih ngontrak dan sering berpindah-pindah tempat, dua tahun berikutnya yakni tahun 2003 sahabat-sahabat di sana telah memiliki sekretariat permanen sendiri berupa gedung bertingkat yang megah di belakang kampus STAIN Malang. Sekretariat tersebut mereka bangun atas kerjasama yang kompak antara sahabat-sahabat kader PMII aktif yang tergabung dalam sebuah kepanitiaan pembangunan sekerariat dengan para alumninya.

Jika mereka bisa, mengapa kita tidak? Kita sebenarnya memiliki banyak alumni yang tersebar di berbagai daerah dan tidak sedikit diantara mereka yang telah sukses baik di birokrasi, usahawan dan beberapa profesi sebagainya. Jika saja beliau-beliau itu kita kumpulkan dan kita ajak rembugan untuk memikirkan bagaimana membangun PMII kedepan secara serius, penulis yakin tak sampai dua tahun kita sudah memiliki sekretariat permanen. Persoalannya barangkali adalah bagaimana dan kapan memulainya? Untuk itulah pengurus komisariat harus pandai-pandai menciptakan momentum yang tepat untuk mempertemukan seluruh alumni kita dalam sebuah forum, anggaplah forum kangen-kangenan antar kader dan almuni yang dikemas sedemikian rupa untuk menggugah simpati dan rasa memiliki terhadap PMII.

  1. Penggalian dan pengelolaan sumber dana yang relatif tidak ada.

Persoalan penggalian dan pengelolaan sumber dana merupakan problem krusial dalam tubuh PMII. Berbagai agenda kegiatan yang telah ter-planning dalam program kerja PMII komisariat sedikit banyak selalu terkendala oleh ketiadaan dana yang dimiliki. Jangankan dana yang kita butuhkan untuk kegiatan-kegiatan yang berskala besar, untuk anggaran kebutuhan rutinitas saja kita seringkali harus pontang-panting mencarinya. Khusus untuk dana yang dibutuhkan bagi keperluan rutinitas (seperti pembelian ATK, sewa sekretariat, dst) tentu kita tidak bisa selalu bergantung kepada alumni. Memang untuk tahap awal perintisan kita masih bisa mengandalkan uluran tangan para alumni, tetapi untuk kelanjutannya kita harus mencari alternatif sumber dana yang bersumber dan dikelola secara mandiri. Untuk itulah kader PMII sudah saatnya belajar bagaimana manajemen kewirausahaan untuk mengatur dan memutar dana secara berkelanjutan.

Dalam tahap awal, untuk penggalian modal usaha kita bisa menggugah para alumni untuk berinfak kepada PMII yang pernah membesarkannya. Upaya ini bisa kita lakukan misalnya dengan membuka rekening komisariat dan selanjutnya memberlakukan infak bulanan kepada seluruh alumni misalnya setiap alumni dan anggota menyisihkan Rp.5000,- setiap bulannya. Jika kita memiliki alumni dan anggota PMII yang masih aktif sebanyak 200 orang, tentu setiap bulan kita bisa menabung Rp.1.000.000,- perbulannya, dan dalam jangka satu tahun terkumpul Rp.12.000.000,-. Tetapi untuk berikutnya jika modal telah terkumpul harus dirancang sebuah perencanaan matang untuk bagaimana membuka usaha swadaya mandiri. Jika ini dapat kita laksanakan secara konsisten, dan selanjutnya kita manfaatkan untuk membuat modal usaha, maka kita telah dapat memiliki dana abadi yang dapat dipergunakan untuk menutupi anggaran kebutuhan rutin organisasi. Lagi-lagi persoalannya adalah apakah kita siap melakukannya?

  1. Belum terdatanya jumlah anggota dan alumni secara keseluruhan

Jika kita ditanya berapa jumlah anggota dan alumni PMII Komisariat STAIN Samarinda sejak berdirinya hingga sekarang ini, kita tentu tidak dapat memberikan jawabannya secara pasti. Sebab kita belum pernah memiliki data otentik tentang berapa sebenarnya total jumlah anggota dan alumni PMII Komisariat STAIN Samarinda hingga saat ini. Data jumlah keseluruhan anggota dan alumni penting dimiliki oleh setiap periode kepengurusan di antaranya untuk mengetahui perkembangan kuantitas massa PMII sekaligus untuk diperlukan oleh setiap periode kepengurusan komisariat untuk menentukan arah kebijakan dan target yang hendak dicapai oleh setiap periode kepengurusan.

Kondisi tersebut sebenarnya bukan saja dihadapi oleh PMII Komisariat STAIN Samarinda, tetapi hampir semua tingkatan PMII baik mulai dari rayon hingga PKC seluruh Indonesia mengalami ‘nasib’ yang sama dalam hal memanage organisasi dan seolah-olah telah menjadi budaya yang berkembang di lingkungan PMII. Karenanya tak heran jika Cak Imin (Sahabat Muhaimin Iskandar) pernah menyentil: “Salah satu persoalan klasik yang kerapkali menghinggapi PMII adalah kurangnya budaya mencatat dan mendokumentasikan arsip yang sebetulnya penting” (Nusron Wahid: 2003).

Kedepan PMII Komisariat STAIN Samarinda diupayakan untuk dapat melakukan penelitian dan pendataan seluruh anggota dan alumni PMII dari periode ke periode kedalam sebuah database tunggal. Pendataan ini penting dilakukan sebagai tindak lanjut untuk mempermudah pelaksanaan pointer 3, 2, dan 1 di atas.

  1. Jaringan komunikasi dan hubungan antara kader dan alumni yang belum difungsikan secara optimal

Selanjutnya, hal yang tak kalah pentingnya dengan keempat point di atas adalah hubungan harmonis antara anggota PMII yang masih aktif sebagai pelaksana jalannya roda organisasi dengan alumni-alumni PMII. Selama ini kenyataan menunjukkan bahwa jalinan komunikasi dan silaturrahmi antara anggota PMII yang masih aktif dengan alumni-alumni PMII terlihat tak terjalin dengan ‘mesra’. Penulis melihat, alumni-alumni kita saat ini telah terkotak-kotak kedalam berbagai firqoh-firqoh, baik mungkin karena perbedaan mainstream politik, kepentingan, atau mungkin karena kesibukannya, dan seterusnya.

Andai ada pertanyaan, apakah beliau-beliau itu masih bisa dipertemukan dalam satu forum, jawabannya tentu bisa saja. Persoalannya adalah apakah anggota-anggota PMII yang masih aktif itu –seperti penulis kemukakan sebelumnya– mampu menciptakan momentum khusus yang berskala besar yang dikemas sedemikian rupa untuk mempertemukan mereka dalam satu forum yang tidak terlalu formil tapi produktivitasnya ada. Lagi-lagi ini terpulang kepada kepiawaian para sahabat-sahabat PMII yang masih aktif.

  1. Ketiadaan media informasi sebagai sarana komunikasi antar kader

Media baik cetak maupun elektronik merupakan salah satu sarana yang cukup vital yang diperlukan oleh setiap organisasi manapun. Media dapat dijadikan sebagai sarana yang efektif untuk menjembatani aspirasi dan kepentingan para kader. Di samping itu, media juga dapat difungsikan sebagai sarana untuk mengukur sejauhmana perkembangan berbagai kegiatan baik yang telah maupun akan diimplementasikan. Dalam beberapa periode sebenarnya PMII Komisariat pernah memiliki media informasi seperti buletin. Namun sayangnya, penerbitannya tidak sustainable (berkelanjutan) dan terkesan ‘hangat-hangat tahi ayam’. Ini dapat dimaklumi karena memang kita selalu terbentur oleh berbagai keadaan. Menurut penulis, ada beberapa faktor yang menggelayuti usaha pengadaan media informasi di PMII, misalnya ketiadaan funding tetap, lemahnya manajemen penerbitan, serta (mungkin) contents penerbitan yang belum marketable.

Saat ini kita hidup di zaman yang teknologi informasinya telah sedemikian mutakhir. Tetapi kenyataannya kita masih gatek (gagap teknologi). Jika saja kita dapat memanfaatkan kecanggihan media informasi seperti jaringan maya yang saat ini telah menjamur itu, tentu kita dapat saling berkomunikasi secara cepat tapi murah dengan seluruh warga PMII, tidak saja untuk lingkungan Komisariat STAIN Samarinda tetapi juga komunikasi antar komisariat di seluruh Indonesia dengan memanfaatkan jasa teknologi cyber. Bukankah sekarang sudah ada situs-situs yang menawarkan jasa pemasangan website secara gratis? Kalau kita bisa merambah dunia maya, maka kitapun bisa mengetahui perkembangan gerakan para sahabat-sahabat kita di seluruh pelosok Nusantara. Persoalannya adalah, apakah kita pernah terpikir kesana dan siap melakukannya? Just up to you!

  1. Ketiadaan sarana pendistribusian kader ke segenap lini

Problem terakhir yang saat ini dihadapi PMII kita adalah tiadanya sarana pendistribusian kader kesegenap lini. Kita harus mengakui bahwa sampai saat ini kita belum pernah ada konsensus bersama di antara para alumni untuk memikirkan bagaimana mendistribusikan kader-kader potensial kita, kalau toh ada hanya satu atau dua orang alumni saja, selebihnya tidak ada. Apakah ini berarti kepedulian kita kepada ‘anggota keluarga’ kita sendiri rendah? Ataukah memang karena kita itu terlalu sibuk sehingga tak sempat mengingat anak-anak kita sendiri? Ataukah pula karena sense of crisis kita sebagai warga Pergerakan sudah terkikis habis? Wallahu ‘alam. Menurut Herry H. Azumi, kader PMII saat ini belum tersebar ke semua lini kehidupan masyarakat. Selama ini, kader PMII hanya terfokus pada bidang politik, ditandai dengan banyaknya kader PMII yang terjun ke sejumlah partai politik. Kader PMII seharusnya menyebar, misalnya ada yang menyebar ke dunia profesional (www.pmkri.org).

Menurut penulis, sudah saatnya kita para alumni melembagakan upaya pendistribusian kader secara serius. Jika organisasi lain bisa, kita gimana? Sebenarnya kita punya Forum Komunikasi dan Silaturrahmi Kader (Foksika) yang jika itu dapat lebih diberdayakan, tentu bisa dijadikan sebagai sarana untuk mempromosikan dan mengangkat ‘nasib’ kader-kader kita yang masih keleleran. Jangan-jangan Foksika itu telah berganti kepanjangannya menjadi “Forum Antisipasi Kader”. Semoga saja tidak! Mungkin kita perlu merenungkan pendapat Sahabat Kofifah Indar Parawansa ketika beliau berbicara pada acara temu alumni PMII di Surabaya agar PMII mampu membangun sikap kesetaraan dalam berkomunikasi sehingga mereka memiliki jaringan yang luas: “Kita ini tidak bisa mempertahankan sikap patronase, karena kalau hal itu dibiarkan, maka akan berimplikasi pada adanya jarak, terutama antara alumni dan kadernya atau antara elite dengan masanya”(Suara Karya Online).

The Seven Solutions

Marilah kita renungkan firman Allah SWT: “…dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok…” (QS. Al-Hasyr: 18). Sudah saatnya mulai kini PMII merancang dan merekayasa masa depannya jika tak ingin menjadi ‘menara gading’ di antara organisasi-organisasi lainnya. Kini adalah saat yang paling tepat bagi PMII untuk mengawalinya. Dahlan Iskan (Bos Jawa Pos Group) dalam sebuah kesempatan seminar di Singapura pernah ditanya oleh seorang peserta: “Apa kuncinya sukses membangun organisasi atau perusahaan”?. Menurut Dahlan Iskan ada tiga hal sepele tapi berdampak besar, yaitu: 1) mulailah dari yang kecil-kecil, 2) mulailah dari diri sendiri, dan 3) mulailah dari sekarang. Ketiga hal tersebut memang pekerjaan sepele, tapi tak akan membuahkan hasil jika tak dilakukan secara konsisten dan kontinuitif.

Untuk menjadi besar, mulai saat ini PMII khususnya Komisariat STAIN Samarinda harus mampu berintrospeksi, membaca kekuatan yang dimiliki (strengths), kelemahan-kelemahan diri (weaknesses), kesempatan-kesempatan yang ada (opportunities), dan ancaman-ancaman yang menghadang (threats) (Stewart: 1998). Kemampuan “membaca” potensi yang ada pada diri PMII itu mutlak diperlukan untuk dipergunakan merancang masa depan PMII. Berikut ini penulis uraikan Analisis SWOT berikut 7 Solusi dalam rangka “Merekayasa Masa Depan PMII”:

Analisis SWOT dan 7 Solusi

Merekayasa Masa Depan PMII

 

A. Kekuatan

(Strengths)

Kelemahan

(Weaknesses)

Kesempatan

(Opportunities)

Ancaman

(Threats)

1.

 

–       Jumlah anggota cukup besar

–       Hampir 90% kader di birokrasi STAIN

–       Banyak kader-kader potensial dari kalangan dosen dan mahasiswa

–       Networks PMII cukup luas

–       Banyak alumni PMII STAIN yang cukup sukses di luar

–       Banyak alumni PMII STAIN yang tersebar di ormas/OKP

–       Memiliki potensi penggalian dan pengelolaan dana yang cukup besar.

 

 

–       Manajemen organisasi yang tidak tertata secara elegan

–       Tidak memiliki sekretariat tetap

–       Belum terdatanya jumlah anggota dan alumni secara keseluruhan

–       Belum difungsikannya secara optimal jaringan komunikasi dengan alumni

–       Tidak dimilikinya media informasi sebagai sarana komunikasi antar kader

–       Tidak ada upaya/sarana pendistribusian (diaspora) kader ke segenap lini

–       Belum terbangunnya network dengan ‘dunia luar’.

–    Akan menjadi organisasi besar dan profesional jika ditata mulai saat ini.

–    Menjadi organisasi yang diperhitungkan elemen organisasi lain.

–    Memiliki daya tawar kuat terhadap proses pengambilan kebijakan pemerintah daerah.

–    Menjadi mitra sejati masyarakat dalam kasus-kasus kemasyarakatan.

–    Mampu menelorkan kader-kader profesional yang siap pakai di segenap lini.

–    Menjadi organisasi pelopor perubahan sosial.

–       Akan mati/bubar atau paling tidak mengalami stagnasi permanen jika tak segera dicarikan terobosan-terobosan konstruktif.

–       Ditinggalkan oleh kader-kader barunya jika tak ada revolusi manajemen.

–       Tidak diperhitungkan oleh organisasi-organisasi lain.

–       Tidak memiliki daya tawar terhadap pemerintah daerah dan masyarakat.

–       Melahirkan kader-kader yang tidak militan dan tidak siap pakai.

B. THE SEVEN SOLUTIONS
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

 

Melakukan revolusi manajemen organisasi secara bertahap

Menggali dan mengelola dana secara mandiri

Mengupayakan pengadaan sekretariat tetap sebagai basis gerakan

Melakukan pendataan jumlah kader dan alumni secara total

Membangun dan memfungsikan forum alumni secara optimal

Mengadakan media informasi sebagai sarana komunikasi antar kader

Membangun dan mengoptimalkan lembaga distribusi kader ke segenap lini, sekaligus membangun jaringan kerja (networking) dengan ‘dunia luar’ sesuai kemampuan dan kebutuhan.

Sebagaimana penulis uraikan pada tabel di atas, ada beberapa items yang merupakan prasyarat mutlak (conditio sine qua non) yang harus dilakukan terlebih dulu oleh PMII jika ingin eksis di masa depan, di antaranya:

  1. Melakukan revolusi manajemen organisasi secara bertahap
  2. Menggali dan mengelola dana secara mandiri
  3. Mengupayakan pengadaan sekretariat tetap sebagai basis gerakan
  4. Melakukan pendataan jumlah kader dan alumni secara total
  5. Membangun dan memfungsikan forum alumni secara optimal
  6. Mengadakan media informasi sebagai sarana komunikasi antar kader
  7. Membangun dan mengoptimalkan lembaga distribusi kader ke segenap lini, sekaligus membangun jaringan kerja (networking) dengan ‘dunia luar’ sesuai kemampuan dan kebutuhan.

Dari ketujuh pointers solusi di atas, implementasi teknisnya sengaja tidak penulis uraikan, akan tetapi dalam praktiknya nanti tentu harus disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan riel PMII yang berorientasi pada perubahan di masa masa depan, paling tidak untuk jangka waktu 10 tahun kedepan. Ketujuh solusi tersebut harus diterapkan dalam setiap periode kepengurusan Komisariat –dengan berkoordinasi denga PC dan PKC PMII– selama kurang lebih dalam jangka waktu 10 tahun kedepan. Implementasi ketujuh solusi tersebut tidak saja memerlukan keseriusan dan semangat yang tinggi, tetapi juga membutuhkan kesatuan visi antar seluruh pengurus Komisariat. Karena itu kesuksesan proyek ini sangat memerlukan seorang ketua komisariat yang mampu mentransformasikan visi proyek ini secara jelas dan tegas kepada segenap pengurus komisariat.

Ketujuh items tersebut penulis sebut sebagai The Seven Solutions yang apabila dapat dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan akan membekali kita kemampuan “merambah bumi”. Jika kita telah mampu “merambah bumi” maka selanjutnya itulah saat yang tepat bagi PMII untuk menjadi “penghuni langit”.

Penutup

Apa yang penulis uraikan di atas pada hakikatnya bertumpu kepada upaya bagaimana membangun karakter kader yang kuat (highly character). Hanya kader-kader yang memiliki karakter dan integritas yang kokohlah yang mampu melaksanakan dan mewujudkan cita-cita di atas. Terimplementasikannya beberapa agenda di atas akan mendorong manifestasi masa depan PMII yang lebih cerah. Dalam hal ini Sahabat Herry Hariyanto Azumi, Ketua Umum PB PMII kita mengatakan bahwa agenda yang paling penting bagi PMII kedepan adalah kaderisasi yang tertata rapi di tingkatan Cabang. Katanya lagi: “kita akan fokus ke kaderisasi yang tertata rapi. Bukan asal-asalan” (www.pmkri.org).

Agenda-agenda di atas di samping menjadi problem dan titik fokus kita bersama juga menjadi solusi untuk mewujudkan eksistensi PMII di masa-masa mendatang, khususnya Komisariat STAIN Samarinda. Merancang masa depan sama saja dengan mewujudkan impian dan mewujudkan impian itulah seharusnya yang menjadi cita-cita kita hari ini. Penulis yakin, jika kita istiqomah melaksanakan agenda-agenda di atas, kedepan paling lambat sepuluh tahun kedepan PMII Komisariat STAIN Samarinda akan mencapai ‘kemapanan sejati’. Kata Aristoteles (dalam Covey: 1997): “Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang. Karena itu, keunggulan bukanlah suatu perbuatan, melainkan sebuah kebiasaan”.  Marilah kita simak juga pendapat Sahabat Kaning (Syaukani HR: Bupati Kukar) dalam kesempatan membuka Konferensi Cabang (Konfercab) XI Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kukar: “PMII sebagai bagian dari elemen mahasiswa dan pemuda, harus bangkit dan tampil ke depan dengan tangan terkepal. Karena memang, ini menjadi prinsip PMII, tampil ke depan dengan tangan terkepal” (Kaltim Post: 29 November 2005).

Selamat Berjuang! Tangan Terkepal dan maju ke muka!

——————————————————————–

Written by: Imam Hanafie el-Arwany

Memo: 1 Januari 2006

Ilustrasi:

 

——————————————————————–

Daftar Pustaka

Covey, Stephen R., The 7 Habits of Highly Effective People, alih bahasa Drs. Budijanto dalam 7 kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif, (Jakarta: Binarupa Aksara, 1997).

Parawansa, Khofifah Indar, PMII Perlu Bangun Kesetaraan, Suara Karya, Edisi 2005.

Profil Heri Hariyanta Azumi Ketua PB PMII. Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia National Board-www.pmkri.org

Stewart, Aileen Mitchell, Empowering People, (Londong: Pitman Publishing, 1994) Alih Bahasa Agus M. Hardjana, Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 1998).

Syaukani, Harus Jadi Pengawal Gerbang Dayaku, Kaltim Pos, Edisi Nopember 2005.

Wahid, Nusron, dkk., Ultimatum Transisi: Narasi Pergolakan PMII dalam Transisi Demokrasi, (Jakarta: Pustaka Salemba Bekerjasama dengan PB PMII, 2003)

_____________, Gerakan Mahasiswa dan Godaan Politik: Problematika Transisi Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Salemba-PB PMII, 2003).

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Manajemen dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *