Reinterpretasi Jihad fi Sabilillah

الحمدلله. الحمدلله الذى يُمِدُّ مَنْ أََطَاعَهُ بِالنَّصْرِ الْمُبِيْنِ. وَيُجَازِىْ مَنْ جَاهَدَ فِى سَبِيْلِهِ بِالْفَوْزِ الْعَظِيْمِ. أَشْهَدُ أنْ لاَ إلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.  اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى هذَا الرَّسُوْلِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.

أَمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللهِ. أُوْصِيْكُمْ وَ نَفْسِى بِتَقْوَى اللهِ. فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

Hadlirin sidang Jum’ah rahimakumullah,

Untuk mengawali khutbah pada hari yang mulia ini, marilah senantiasa kita tingkatkan kualitas esensi hidup kita dengan selalu meningkatkan kualitas maupun kuantitas keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT, yakni tidak saja dengan jalan meyakini di dalam hati {تصديق بالقلب}dan mengucapkannya dengan lisan {وإقرار باللسان}, tetapi juga dengan mengaplikasikan dan memanifestasikannya dalam amal perbuatan yang nyata  dalam kehidupan sehari-hari{وأفعأل بلأركان}. Sebab melalui keimanan yang tertanam dalam hati, dan pengucapan yang tulus memalui lisan, serta pengamalan yang nyata dalam perilaku dan perbuatan sehari-hari itulah tercermin tingkat keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT, dan ketakwaan itulah sebaik-baik bekal untuk dapat survive baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى {البقرة : 197}.

Artinya: “Dan berbekallah kamu, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa” (QS. Al-Baqarah : 197).

Hadlirin jama’ah Jum’ah yang berbahagia,

Belakangan ini wacana tentang jihad kembali menjadi perbincangan yang menarik di kalangan para tokoh kita, baik di kalangan agamawan maupun politikus, baik yang yang memberikan penilaian pro maupun kontra. Wacana tentang jihad kembali menjadi titik fokus perdebatan sejak terjadinya peristiwa ledakan Bom Bali II tepatnya di Kuta dan Jimbaran, Bali yang didalangi oleh Dr. Azahari dan para pengikutnya. Akibat ledakan Bom Bali II pada 1 Oktober 2005 tersebut telah menewaskan sedikit-dikitnya 23 orang, dan 196 lainnya menderita luka-luka. Peristiwa paling aktual yang melatarbelakangi keinginan pemerintah kepada para ulama dan pemuka agama untuk kembali menekankan pentingnya memberikan pemahaman menyeluruh tentang jihad kepada masyarakat adalah peristiwa terungkapnya pengakuan ketiga pelaku bom bunuh diri dalam rekaman VCD yang dibuat sebelum mereka meledakkan diri.

Dalam rekaman VCD tersebut setidaknya terungkap bahwa ketiga pelaku bom bunuh diri tersebut berusaha meyakini dan meyakinkan kita bahwa apa yang telah mereka perbuat tersebut adalah jihad yang benar dan bernilaikan syahid, padahal belum tentu mereka yang menjadi korban ledakan tersebut merupakan musuh-musuh Islam yang layak untuk diperangi. Sehingga beberapa tokoh Islam menyatakan bahwa jihad yang mereka lakukan tersebut salah sasaran dan tidak pada tempatnya. Karenanya diperlukan suatu upaya untuk memahamkan kembali pengertian dan hakikat jihad yang benar kepada umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya agar tidak salah menilai tentang agama Islam.

Hadlirin sidang Jum’ah rahimakumullah,

Terminologi jihad berasal dari akar kata bahasa Arab “jahada” yang berarti “usaha sungguh-sungguh”. Pada masa awal Islam, doktrin jihad secara konotatif tidak memiliki makna lain kecuali berjuang di jalan Allah dengan cara-cara yang persuasif, santun, dan damai, sedangkan jihad dalam arti perang hanya boleh dilakukan secara terbatas, yakni kepada mereka yang memulai memerangi kaum muslimin. Dalam pandangan Al-Qur’an, jihad dalam arti perang tidak boleh dilakukan kecuali memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Pertama, jihad dalam arti perang hanya dapat dilakukan secara terbatas, yaitu ditujukan kepada mereka yang memulai memerangi kaum muslimin. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 190 yang berbunyi:

وَقَتِلُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ الَّذِيْنَ يُقَتِلُوْنَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوْا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ. {البقرة : 190}.

Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Baqarah : 190).

Ayat tersebut memberikan ketentuan secara tegas bahwa tindakan memerangi musuh, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan teror yang dilakukan dalam kerangka perang tidak boleh dilakukan apabila secara nyata musuh tidak memulai melakukan perang.

Hadlirin jama’ah Jum’ah yang berbahagia,

Syarat kedua adalah, Al-Qur’an juga menyatakan secara jelas dan tegas bahwa jihad dalam arti perang hanya dapat dilakukan terhadap orang-orang yang menzalimi kaum muslimin serta memaksa mereka keluar dari agama dan kampung halaman mereka. Namun sebaliknya, kaum muslimin dianjurkan untuk berbuat baik dan adil terhadap meraka yang tidak memerangi kaum muslimin.

Sebagaimana ditegaskan dalam AlQur’an surat Al-Mumtahanah ayat 9 yang berbunyi:

لاَيَنْهَكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقتلُكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُكُمْ مِنْ دِيرِكُمْ أَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ.

Artinya: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahanan : 8).

Syarat ketiga adalah apabila terdapat kecenderungan atau inisiatif dari pihak musuh untuk berdamai dengan kaum muslimin, maka haruslah diutamakan untuk mengedepankan upaya-upaya ke arah perdamaian. Sebagaimana Allah SWT memerintahkan dalam AlQur’an surat Al-Anfal ayat 61:

وَإِنْ جَنَحُوْا لِلسِّلْمِ فَاجْنَحْ لًهَا وَتَوَكَّلْ عَلىَ الله إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. {الأنفال : 61}

Artinya: “Dan jika mereka (orang-orang kafir) itu condong kepada perdamaian, maka hendaknya engkau juga condong kepadanya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al-Anfal : 61).

Syarat keempat adalah jihad dalam arti perang mengharuskan kaum muslimin untuk memelihara harkat dan martabat tawanan perang. Sebagaimana dijelaskan dalam AlQur’an surat Al-Insan ayat 8 dan 9 yang berbunyi:

وَيُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلى حُبِّهِ مِسْكِيْناً وَيَتِيْماً وَأَسِيْرًا {8} إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لاَنُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزآءً وَلاَشُكْراً. {الإنسان : 8-9}.

Artinya: “Dan oleh karena mereka suka memberi makanan yang sangat mereka sukai kepada fakir miskin, anak yatim, dan tawanan perang. “sesunggunya Kami memberi makanan kepadamu itu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih” (QS. Al-Insan : 8-9).

Syarat kelima adalah bahwa Rasulullah SAW memerintahkan dengan tegas agar dalam melaksanakan jihad dalam arti perang terbatas tersebut, kaum muslimin menjamin dan melindungi masyarakat sipil, lahan pertanian, peternakan, para ulama, dan tempat-tempat ibadah.

Hadlirin sidang Jum’ah rahimakumullah,

Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa implementasi jihad dalam arti perang memiliki syarat-syarat yang sedemikian ketat, tidak boleh dengan serta merta mengangkat senjata, mengacungkan pedang, apalagi melakukan aksi-aksi teror dengan meledakkan sarana-sarana publik atau tempat-tempat ibadah yang banyak mengorbankan nyawa orang-orang yang belum tentu berdosa seperti yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir di tanah air kita. Pemahaman tentang jihad dalam arti perang seperti ini haruslah senantiasa kita tanamkan kepada anak-anak kita, kepada generasi muda kita, dan kepada umat Muslim di Indonesia pada umumnya agar mereka tidak salah dalam dalam memaknai dan melaksanakan jihad.

Peledakan tempat-tempat ibadah dan sarana-sarana publik dengan bom bunuh diri yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir di tanah air kita yang dilakukan oleh beberapa aktivis Islam dengan mengatasnamakan jihad haruslah dikaji ulang. Jika memang mereka benar-benar ingin mengorbankan diri atas nama jihad untuk mendapatkan pahala syahid, mengapa mereka tidak pergi saja ke Palestina, di negeri yang kaum Musliminnya jelas-jelas teraniaya, terjajah dan terusir dari kampung halamannya demi mempertahankan akidah dan tanah airnya? Jika memang mereka benar-benar membenci Amerika dan sekutunya sebagai dalang teroris dunia yang telah meluluh-lantakkan Irak, mengapa meraka tidak bergabung saja dengan para mujahidin di sana? Mengapa mereka harus meledakkan tempat-tempat umum seperti di Bali yang korbannya tidak saja orang asing tetapi juga saudara-saudara sendiri yang belum tentu berdosa? Islam dan agama manapun di dunia ini tidak pernah mengajarkan kekerasan (violence) kepada penganutnya. Islam sebagai universal religion of peace (agama damai yang bersifat universal) adalah agama yang mengedepankan kedamaian, baik terhadap diri sendiri, kedamaian dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan kedamaian yang meliputi seluruh alam dan isinya.

Al-Qur’an sendiri sesungguhnya lebih menekankan pengertian jihad fisabilillah pada upaya perjuangan untuk meningkatkan kegiatan ibadah dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT, dan bukan untuk kepentingan yang lain. Dalam mengimplementasikan kegiatan jihad itupun Islam mengajarkan bahwa jihad tidak boleh didasari oleh kekuatan hawa nafsu. Sebagaimana dikisahkan, ketika dalam suatu peperangan Sayidina Ali Bin Abi Thalib KW telah berhasil melumpuhkan seorang kafir Quraisy. Namun ketika Sayidina Ali hendak menebaskan pedangnya, mendadak si musuh tadi meludahi wajah Sayidina Ali, sehingga Sayidina Ali marah dan mengurungkan niatnya untuk membunuh si musuh tadi. Kemudian timbullah keheranan si musuh tadi karena Sayidina Ali tidak jadi menebaskan pedang untuk membunuhnya, lalu si musuh kafir Quraisy tadi bertanya: “Wahai Ali kenapa engkau tidak jadi membunuhku”? Lalu dijawab oleh Sayidina Ali: “Pertama ketika akan membunuhmu tadi aku hanya berniat karena jihad kepada Allah, tetapi setelah engkau meludahiku dan membuatku marah tidak lagi karena Allah tetapi karena hawa nafsuku”.

Demikianlah, kisah singkat tersebut memberikan pelajaran penting kepada kita bahwa ternyata jihad yang terbesar dan paling berat adalah jihad melawan diri sedndiri, yaitu jihad menundukkan hawa nafsu yang menguasai diri sendiri.

Hadlirin jama’ah Jum’ah yang berbahagia,

Demikian khutbah singkat ini semoga bermanfaat. Akhirnya marilah kita senantiasa memohon kepada Allah agar selalu dikaruniai kekuatan dan hidayah-Nya agar dapat melaksanakan jihad dengan sebenar-benarnya jihad, tanpa harus mengorbankan kepentingan orang-orang yang belum tentu patut untuk diperangi, tanpa harus menghancurkan tempat-tempat yang seharusnya tidak perlu untuk dihancurkan.

بَارَكَاللهُ لِىوَلَكُمْ فِى الْقُرْآنِ الْعَطِيْمِ وَنَفَعَنِى وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ مِنّىِ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ, اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ. وَاسْتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيْمَ اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

[*] Disampaikan di Masjid Al-Muhaimin Perum Temindung Permai. Jum’at, 2 Desember 2005


Written by: Imam Hanafie el-Arwany

Memo: 2 Desember 2005

Ilustrasi: islam.nu.or.id

Tulisan ini dipublikasikan di Khutbah Jum'at dan tag , . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *