Idul Fitri yang merupakan salah satu hari besar umat Islam, secara etimologis berasal dari kata ‘Aaid yang diambil dari kata Aud yang artinya kembali. Sedangkan Fithr dapat diartikan dengan berbuka, berasal dari kata Futhur yang artinya adalah makanan yang digunakan untuk berbuka setelah kita melakukan ibadah puasa. Dengan demikian secara harfiah, term Idul Fitri dapat kita maknai secara bebas sebagai Hari Raya Berbuka atau Kembali Berbuka, setelah selama satu bulan penuh kita menahan diri dari makan dan minum.
Dari segi filosofis, menurut Ahli Hikmah kata Idul Fitri berasal dari kata ‘Id yang artinya kembali, dan Fithr yang berarti individu yang suci. Jadi dari segi istilah, Idul Fitri dimaknai sebagai kembali pada kesucian diri, setelah diri (fisik dan psikis) digembleng selama satu bulan penuh di bulan Ramadan. Adapula yang mengatakan fitrh itu adalah asal kejadian manusia, jadi idul Fithri dapat diartikan sebagai mengingat kembali asal kejadian manusia, bahwa manusia diciptakan dari tanah dan suatu saat kelak akan kembali lagi ke tanah.
Hari Raya Idul Fithri yang setiap tahun kita rayakan itu, berdasarkan data historis, dicanangkan oleh Rasulullah SAW sejak Tahun II Hijriyah seiring dengan pada tahun di mana diwajibkannya puasa dan kewajiban membayar Zakat Fitrah. Menurut riwayat Abu Daud dan An-Nasa’i, ketika Rasulullah SAW menetap di Madinah, pada saat itu penduduk Madinah masih merayakan hari Nairuz dan Mahrajan yang merupakan hari raya mereka sebelum kedatangan Islam. Pada saat itulah, Rasulullah SAW melarang kebiasaan jahiliyah itu dan menggantinya dengan Idul Fithri dan Idul Adha. Sebagainya sabdanya: “Sesungguhnya Allah telah mengganti untukmu dua hari besarmu ini (Nairuz dan Mahrajan) dengan dua hari raya yang lebih utama daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri” (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
Apa sajakah rahasia atau pelajaran yang dapat kita petik dengan adanya Idul Fitri ini? Pertama, Allah SWT akan senantiasa menghidupkan hati orang-orang yang secara ikhlas mengisi malam hari raya dengan perbuatan-perbuatan yang bernilai ibadah. Dalam arti bahwa Allah SWT akan menyelamatkannya pada hari kiamat pada saat orang-orang binasa dan tidak terselamatkan. Orang ini juga akan dijaga oleh Allah SWT dari mati secara Su’ul Khotimah (mati dalam keadaan tidak beriman). Sebagaimana Sabdanya: “Barang siapa beribadah pada malam hari raya dengan ikhlas karena Allah SWT, maka ia tidak akan mati hatinya pada saat hati orang-orang telah mati” (HR. Ibnu Majah).
Kedua, Allah SWT menjanjikan akan memasukkan surga bagi orang-orang yang dengan ikhlas melakukan ibadah pada malam hari raya. Sebagaimana Sabda Beliau: “Barang siapa beribadah pada empat malam, niscaya ia akan masuk surga. Yaitu malam Tarwiyah (8 Dzulhijah), malam arafah (9 Dzulhijah), malam Idul Adha, dan malam Idul Fithri” (HR. Asyakir dari Muaz).
Ketiga, momentum hari raya Idul Fithri sesungguhnya bukanlah arena pelampiasan kegembiraan dalam bentuk menikmati hidangan yang lezat-lezat atau pakaian yang serba mewah, tetapi kesadaran yang purna terhadap kehidupan akhirat yang pasti terjadi dan akan dilalui oleh semua umat manusia. Kesadaran atau keinsyafan itu selanjutnya dimanifestasikan dalam bentuk penghambaan (ubudiyah) secara optimal serta makin meningkatnya taraf kehidupan spiritual setiap orang yang telah melalui penempaan di bulan Ramadan. Sebagaimana para ahlul haqiqah menyatakan: “Bukanlah Hari Raya itu untuk orang yang mengenakan pakaian yang serba baru dan mewah, (pada hakikatnya) Hari Raya itu adalah orang yang keta’atannya bertambah”.
——————————————————
Written by: Imam Hanafie el-Arwany
Memo: 22 Oktober 2006
Ilustrasi: