Demokrasi di Indonesia: Antara Cita dan Fakta

Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat

supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi negara kekuasaan.

Kita menghendaki negara pengurus…(Karena itu) janganlah kita

memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan.

(Mohammad Hatta, 1945)

 

Pendahuluan

Tulisan saya yang berjudul “Demokrasi di Indonesia : Antara Cita dan Fakta” ini hanyalah semata-mata pemikiran subyektif saya sendiri. Oleh karena itu siapapun boleh dan berhak untuk mengkritik dan mengkritisinya, atau bahkan mungkin menolaknya mentah-mentah, karena memang saya selalu sepakat dengan adagium “Sepakat untuk tidak sepakat”, dan karena memang saya meyakini bahwa salah satu nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi itu adalah anti penyeragaman, anti pemaksaan, dan bahkan anti penindasan.

Saya sengaja mengkerucutkan judul makalah tentang ‘Demokrasi di Indonesia’ dengan sub bahasan ‘Antara Cita dan Fakta’ untuk menstimulir para pembaca membuat sebuah deskripsi secara sederhana tentang bagaimana wajah demokrasi di negara kita (das sein), dan bagaimana seharusnya demokrasi dikembangkan (das solen). Pembahasan kearah ini menurut saya akan menjadi sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan, manakala kita memiliki kapabilitas yang cukup memadai dalam membidik wacana demokrasi yang berkembang di negara kita dari berbagai sudut pandang dan kacamata yang berbeda.

Sebenarnya, demokrasi adalah sebuah cita-cita yang ideal. Demokrasi bukanlah semata-mata cara bagaimana sebuah negara memerintah, namun lebih dari itu demokrasi juga merupakan sebuah ide, gagasan, atau cita-cita. Pernyataan ini saya kira sejalan dengan pendapat Mariam D. Irish dan James W. Prothro (1968), dalam The Politics of American Democracy, Irish dan Prothro mengatakan : “Democracy is more than a way of governing; it is also an idea and ideas provide the key to understanding human behavior” (Demokrasi lebih dari sekedar suatu cara bagaimana memerintah atau berkuasa, tetapi ia juga merupakan gagasan, cita-cita atau pemikiran yang menjadi kunci untuk memahami tingkah laku manusia).

Oleh karena demokrasi merupakan sebuah cita-cita atau ide, maka ia menjadi sesuatu yang agak sulit untuk didefinisikan secara baku karena ia merupakan sesuatu yang sangat abstrak. Diskursus tentang demokrasi di Indonesia memiliki sifat “politis” dalam arti yang seluas-luasnya. Ia melibatkan elite politik dan cendekiawan; ia berakar dalam cita-cita, kekhawatiran, harapan, suka duka dan pengalaman seluruh bangsa Indonesia. Oleh karena itu wajar jika Franz Magnis Suseno (1995) mengatakan : “Kita jangan heran, kalau diskursus demokrasi itu penuh dengan pelbagai kerancuan, inkonsistensi dan fallacies. Betapa tidak. Demokrasi bukan masalah teoritis yang dapat dibahas dengan hati yang dingin seperti kita membahas teori terakhir tentang lobang hitam”.

Sejalan dengan pendapat Franz Magnis Suseno tersebut, menurut Giovani Sartori, seperti dikutip David L. Sills (1972) dalam The International Encyclopedia of the Social Sciencies, istilah demokrasi itu sendiri merupakan sesuatu yang paradoksal. Secara harfiah, sistem demokrasi hanya mungkin berlaku dalam skala negara kota Yunani Kuno. Karena itu sejak demokratia diperkenalkan di abad kelima SM, pemahaman dan perdebatan mengenai makna dan cakupan “pemerintahan (kratia) oleh rakyat (demos)” itu hampir tak pernah berhenti, termasuk di negara kita sendiri, Indonesia.

Dengan demikian, dalam makalah ini saya mengajak pembaca untuk “meraba-raba”, mencoba membaca seperti apa wajah demokrasi kita, adakah fakta-fakta praktek demokrasi di negara kita telah sejalan dengan cita-cita ideal demokrasi itu sendiri, ataukah kita sekarang sedang berada dalam arena “perang definisi”, atau pula apakah demokrasi di negara kita sampai saat ini masih merupakan unfinished concept? Dan sebagainya, marilah kita mulai meraba-raba!

 

Demokrasi di Indonesia : Sebuah Cita-cita

Pada sub bahasan ini saya tidak akan mengulas tentang ‘cita-cita demokrasi’ di negara kita dalam konteks kesejarahan, tetapi hanya mengulas tentang cita-cita demokrasi Indonesia dalam konteks terma-terma mutakhir. Sebagaimana saya singgung sebelumnya, bahwa diskursus tentang demokrasi di Indonesia sampai saat ini masih debatable, yakni tak pernah terdefinisikan secara established. Dalam hal ini kita lebih banyak mengurai tentang kriteria-keriteria demokratis daripada definisi demokrasi itu sendiri. Hal ini juga diakui sendiri oleh Amien Rais (Capres yang gagal masuk putaran kedua), bahwa menurutnya demokrasi memang sulit didefinisikan, apalagi jika hanya digambarkan dengan bentuk-bentuk formal yang seringkali menyesatkan. Sebagai misal, suatu negara dipandang demokratik bila negara itu telah memiliki lembaga perwakilan rakyat, ada sistem kepartaian dan lembaga pemilihan umum, serta hak pilih bagi setiap warga negara atau universal franchise.

Amin Rais mengajukan sepuluh kriteria demokrasi sebagai suatu cita-cita dan sebagai ukuran untuk menentukan sudah seberapa jauh suatu negara mencoba menerapkan demokrasi dalam tata politik dan pemerintahannya. Kesepuluh kriteria tersebut adalah :

  1. Partisipasi dalam pembuatan keputusan
  2. Persamaan di depan hukum
  3. Distribusi pendapatan secara adil
  4. Kesempatan pendidikan yang sama
  5. Kebebasan mengeluarkan pendapat, persuratkabaran, berkumpul, dan beragama (Amien Rais menyebutnya ‘Empat Kebebasan’)
  6. Ketersediaan dan keterbukaan informasi
  7. Mengindahkan fatsoen
  8. Kebebasan individu
  9. Semangat kerjasama
  10. Hak untuk protes

Menurut Amin, sebuah negara dapat dikatakan demokratis, apabila –setidak-tidaknya— ia mempraktekkan kesepuluh kriteria demokrasi tersebut. Sementara itu Afan Gaffar, sebagaimana dikutip oleh Franz Magnis Suseno menyebutkan bahwa terdapat lima kriteria atau ciri-ciri demokrasi yang harus ada dalam sebuah negara yang menghendaki terciptanya situasi negara yang demokratis, yakni;

  1. 1.Adanya akuntabilitas
  2. 2.Adanya rotasi kekuasaan
  3. 3.Adanya rekrutmen politik yang terbuka
  4. 4.Adanya pemilihan umum, dan
  5. 5.Menikmati hak-hak dasar

Menurut Arief Subhan (1999), dari segi politik diharapkan terbentuk sebuah tatanan kehidupan politik yang menganut beberapa hal sebagai berikut :

  1. 1.Warga negara secara bebas dan berkala memilih orang-orang yang mereka nilai layak dipercaya untuk memerintah
  2. 2.Orang yang memerintah dapat dipercaya dalam bertanggung jawab langsung kepada orang yang diperintah
  3. 3.Ada mekanisme politik yang memungkinkan warga negara dapat mengontrol sejauhmana kepentingan mereka dilaksanakn oleh orang yang memerintah
  4. 4.Ada kesejajaran tawar-menawar politik antara warga negara dengan orang yang memerintah, sebagai jaminan terciptanya hubungan yang bersifat konsultatif.

Salah satu prinsip demokrasi adalah adanya musyawarah, maka jika kita cermati pendapat Arief Subhan di atas, terutama pada poin keempat, terlihat dengan jelas bahwa dalam demokrasi haruslah ada “kesejajaran tawar-menawar” politik atau musyawarah antara warga negara dengan orang yang memerintah.

Hal inipun menurut saya sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang artinya : “…Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (urusan politik, ekonomi, sosial dan lain-lain). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Dalam hal ini Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga menyatakan pendapat yang sama bahwa penegakan demokrasi mesti mengharuskan keikutsertaan semua warga negara yang hanya dapat diperoleh melalui persamaan pemikiran dan dekatnya pandangan-pandangan.

Dari uraian singkat mengenai cita-cita demokrasi yang saya sebutkan di atas, menurut saya cita-cita demokrasi di negara kita adalah sesuatu yang sangat ideal. Sebab ia berisikan upaya-upaya luhur untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia, “memanusiakan” manusia-manusia Indonesia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai penghargaan pluralitas dan seterusnya. Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi tidak hanya sebatas definisi Abraham Lincoln yang mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan, dari-oleh-dan untuk rakyat semata.

 

Demokrasi di Indonesia : Sebuah Fakta

Secara historis, pada masyarakat purba Nusantara, nenek moyang bangsa kita telah mempraktekkan kehidupan yang demokratis. Hal ini dapat kita lihat pada pendapat Mattulada (1977) yang mengemukakan bahwa dalam kehidupan masyarakat Nusantara dikenal adanya kelompok-kelompok masyarakat yang disebut “kaum” atau anang (Bugis) atau marga (Batak) yang anggota-anggotanya terikat satu sama lain oleh hubungan kekerabatan yang ketat.

Secara perorangan warga kaum adalah merdeka dan dan wajib menghormati, malahan melindungi kemerdekaan sesama warganya. Tiap-tiap warga kaum dianggap memiliki hak dan kedudukan yang sama, sedangkan kepala kaum tidak memiliki kelebihan hak atas warga lainnya. Kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan meskipun tak pernah dirumuskan merupakan dasar-dasar pokok kelangsungan kaum itu dan menjadi tabiat dasar dari kerakyatan dalam persekutuan kaum pada masyarakat Nusantara.

Corak tersebut menurut Mattulada mulai berubah ketika agama Hindu datang di Nusantara. Dari peradaban Hindu inilah mulai dikenal adanya perbedaan-perbedaan lapisan sosial yang diprakarsai oleh golongan yang memegang tampuk kepemimpinan kerajaan yang menyebabkan persekutuan kaum mengalami diskriminasi dari lapisan penguasa yang berasal dari luar. Di sini corak hidup demokrasi mulai tergoncang dan asas kerakyatan persekutuan kaum jatuh pada kehinaan yang serendah-rendahnya.

Fakta historis praktek demokrasi juga nampak pada salah satu peristiwa dalam sebuah rapat BPUPKI yang membahas tentang bagaimana kehidupan bersama bangsa Indonesia perlu ditata. Perdebatan dalam rapat BPUPKI makin memanas ketika para peserta rapat sampai pada perdebatan tentang perlu tidaknya hak-hak dasar demokratis diberi jaminan dalam undang-undang dasar. Hak-hak demokratis yang mereka perdebatkan adalah berkisar tentang hak atas kebebasan mengeluarkan pikiran secara tertulis maupun lisan, berkumpul dan berserikat.

Dalam rapat tersebut, Supomo dan Sukarno di satu pihak dengan gigih menentang dimasukkannya hak-hak tersebut kedalam undang-undang dasar, karena menurutnya penetapan hak-hak individu terhadap negara dianggap sebagai individualisme. Sebaliknya Hatta yang didukung oleh Mohammad Yamin menegaskan bahwa hak hak warga negara harus ditetapkan supaya tidak timbul negara kekuasaan.

Namun akhirnya hak-hak demokratis tersebut jadi dimasukkan dalam UUD 1945. Kompromi kedua belah pihak tersebut memperlihatkan bahwa para tokoh BPUPKI tersebut meskipun terdapat perbedaan yang tajam, dipersatukan oleh sebuah keyakinan bahwa Republik Indonesia harus berdasarkan kedaulatan rakyat. Lantas, bagaimana dengan perkembangan demokrasi di negara kita pada era sekarang ini? Jawabannya silahkan anda baca sendiri dalam realitas yang ada…

Di bagian akhir tulisan ini, saya hanya ingin mengajak para pembaca untuk berpikir tentang bagaimana membangun demokrasi kita sejak saat ini. Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus kita lakukan untuk membangun demokrasi di negara kita yaitu :

  1. 1.Harus ada transparansi sistem politik;
  2. 2.Harus ada budaya politik partisipatif-egalitarian;
  3. 3.Harus ada kepemimpinan politik yang bersemangat kerakyatan;
  4. 4.Harus ada rakyat yang terdidik/cerdas dan memiliki kepedulian sosial;
  5. 5.Harus ada partai politik yang tumbuh dari bawah;
  6. 6.Harus ada penghargaan terhadap formalisme dan hukum;
  7. 7.Harus ada masyarakat sipil yang tanggap dan bertanggung jawab;
  8. 8.Harus ada dukungan kekuatan asing dan pemihakan golongan mayoritas.

Penutup

Mari kita sepakat untuk tidak sepakat!

  • 1.Buatlah definisi demokrasi secara sederhana dan bebas menurut anda sendiri
  • 2.Buatlah kriteria-kriteria demokratis menurut anda sendiri
  • 3.Carilah minimal 3 kasus-kasus a-demokratis yang anda ketahui di republik ini
  • 4.Bagaimana menurut anda kasus-kasus a-demokratis tersebut dilihat dari sudut pandang demokrasi, serta apa solusi yang dapat anda tawarkan?
  • Mariam D. Irish dan James W. Prothro, The Politics of American Democracy, (New Jersey : Prentice-Hall, Englewood Cliffs, 1968), hal. 61
  • Franz Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokratis : Sebuah Telaah Filosofis, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 7
  • David L. Sills, ed., The International Encyclopedia of the Social Sciencies, (New York : 1972), hal. 112
  • Amin Rais, Demokrasi dan Proses Politik, (Jakarta : LP3ES Jakarta, 1986), hal. xvi
  • Arief Subhan, Indonesia Dalam Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hal. 56
  • Al-Qur’anul Karim, Surat Ali Imran ayat 159
  • Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999), hal. 32
  • Moh. Mahfudh MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia : Suatu Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Cet Ke-2, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000), hal. 31
  • Franz Magnis Suseno, Op Cit, hal. 9

Written by: Imam Hanafie el-Arwany

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Keindonesiaan dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *