Demi Beras

Tulisan ini diilhami dari sebuah status facebook kawan lama saya, Kang Roby yang dalam status facebooknya sidin menulis “Menahan ngantuk demi ‘BERAS’…..” . Ungkapan pendek Kang Roby itu lalu memaksa saya untuk merenung sekaligus menafsirkannya kedalam filosofi hidup saya, bahwa seluruh kehidupan kita sebagai khalifah di muka bumi ini ternyata memang tidak pernah bisa dilepaskan dari sosok sembako yang bernama beras itu.

Beras dalam terminologi bebas saya itu bisa kita interpretasikan sebagai sumber energi baik secara biologis maupun secara ideologis. Secara biologis beras sebagian terbesar beras didominasi oleh pati (sekitar 80-85%). Beras juga mengandung protein, vitamin (terutama pada bagian aleuron), mineral, dan air. Pati beras tersusun dari dua polimer karbohidrat yaitu: amilosa, pati dengan struktur tidak bercabang, dan amilopektin, pati dengan struktur bercabang dan cenderung bersifat lengket. Kandungan biologis beras ini sangat berjasa dalam mensuplai energi bagi tubuh kita.

Secara ideologis kata “beras” dapat juga diibaratkan sebagai “sumber semangat” bagi siapa saja dalam mengarungi hidup. Saat saya baca status facebook Kang Robby, “Menahan ngantuk demi ‘BERAS’…..” lantas saya menemukan kesimpulan bahwa karena beras-lah banyak orang rela bersusah payah melakukan apa saja, tak peduli hujan mengguyur, tak peduli terik panas menyengat demi menggapai sosok yang bernama beras itu. Boleh saja orang mengejar kedudukan tinggi, berebut pengaruh dan kekuasaan, dan menumpuk-numpuk kekayaan namun ujung-ujungnya merekapun toh akhirnya perlu beras juga. Alhasil, beras telah menjadi bagian dari cita-cita hidup kita tanpa kita sadari. Tanpa kita sadari pula suka atau tidak, kita sesungguhnya telah menganut “ideologi beras” ini.

Ideologi beras ini bagi sebagian orang telah menciptakan adagium “Beras untuk hidup” dan bagi sebagian lainnya juga telah memunculkan adagium “Hidup untuk beras”. Bagi orang yang telah memiliki sandaran vertikal yang kuat dan telah memiliki pemahaman antroposentrisme transendental secara tuntas, mereka cenderung menganut adagium “beras untuk hidup”. Tipologi masyarakat yang demikian itu terbangun karena mereka memiliki asumsi bahwa beras hanyalah sekadar wasilah untuk menggapai tujuan hidup yang lebih mulia dan lebih agung, bahwa beras hanyalah sarana untuk untuk menopang aktivitas ubudiyah, penghambaan kepada Sang Pemberi beras, dan bukan menjadi tujuan yang esensial.

Sementara bagi orang yang tidak atau belum memiliki sandaran vertikal yang kuat, biasanya mereka lebih memilih adagium “Hidup untuk beras”. Kelompok pemilik adagium ini tanpa disadari (atau mungkin karena belum tuntas pemahaman antroposentrisme transendentalnya) telah menjadikan beras –ambisi keduniawian—sebagai tujuan akhir dari hidupnya, bahwa beras bukanlah perantara untuk menggapai tujuan yang lebih mulia. Beras tidak dijadikannya sebagai penopang untuk memperkokoh bangunan sandaran vertikal, tapi menjadikannya sebagai tujuan akhir yang menurutnya harus diperjuangkan mati-matian, tak peduli jika untuk mencapainya harus dilakukan dengan menipu, memeras, dan merampok orang lain.

Karena beras-lah hidup bisa menjadi mulia, dan karena beras pulalah hidup bisa menjadi hina. Bagi kelompok orang yang menjadikan beras sebagai sarana untuk menggapai cita-cita yang lebih mulia, mereka pasti akan selalu ingat siapa Sang Pencipta beras dan siapa si penanam beras. Alhasil, bersyukurlah kepada Sang Pencipta beras, dan berterima kasihlah kepada si penanam beras. Pendek kata, dalam hal persentuhan dengan sosok beras, jangan melupakan Tuhan Sang Pencipta Beras, dan jangan pula lupa kepada para petani, si penanam beras niscaya beras secara ideologis maupun biologis benar-benar membawa berkah.

  • Written by: Imam Hanafie el-Arwany
  • Ilustrasi: trubus.id
Tulisan ini dipublikasikan di Hikmah dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *