Mental Tempe

Bung Karno seringkali memperingatkan rakyat Indonesia dengan mengatakan: “Jangan menjadi bangsa tempe”. Pada masa itu ungkapan tersebut digunakan oleh Bung Karno untuk mewanti-wanti rakyat Indonesia agar jangan menjadi bangsa yang ber-“mental tempe” atau menjadi bangsa yang ber-“kelas tempe”. Mengapa? karena tempe itu murah dan kebanyakan dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah.

Pesan tersebut juga mengajarkan bahwa rakyat Indonesia tidak boleh menjadi bangsa murahan, bersikap rendah diri, terbelakang, dan tak punya harga diri di hadapan bangsa-bangsa lain di belahan bumi ini. Oleh kare itulah sosok yang bernama tempe kala itu digadang-gadang untuk merepresentasikan segala bentuk sikap dan mental yang berkonotasi miring.

Memasuki medium 1960-an hingga kini, pandangan tentang tempe berangsur-angsur mulai berubah. Tempe tidak lagi dianggap sebagai padanan untuk menggantikan segala bentuk sikap dan mental rendah, tempe tidak lagi digunakan untuk menggambarkan karakter bangsa kuli, tetapi tempe telah mulai berubah nasibnya yang semula digunakan untuk menggambarkan segala bentuk keterbelakangan menjadi primadona yang mulai dilirik dan diperhitungkan.

Perubahan pandangan ini dikarenakan tempe tidak lagi dikonsumsi hanya oleh rakyat jelata saja, tetapi masyarakat kelas menengah ke atas pun tidak canggung lagi berinteraksi dengan sosok yang bernama tempe bahkan tempe sudah mulai go international, hingga merambah ke Belanda, Jepang, Cina, India, Taiwan, Sri Lanka, Kanada, Australia, Amerika Latin, dan Afrika. Di dataran Eropa tempe diperkenalkan oleh Prinsen Geerlings (ahli kimia dan mikrobiologi dari Belanda) di mana perusahaan-perusahaan tempe di Eropa itu para pekerjanya tak lain adalah para imigran dari Indonesia, sedangkan di Amerika Serikat tempe dipopulerkan pertama kali tahun 1958 oleh Yap Bwee Hwa, orang Indonesia yang pertama kali melakukan penelitian ilmiah mengenai tempe.

Apakah jasa-jasa tempe itu sehingga kemudian memperoleh derajat yang istimewa? Perlu diketahui, Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi negara penyuplai kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari cadabgan kedelai Indonesia diproduksi dalam bentuk tempe, 40% untuk pembuatan tahu, dan sekitar 10%-nya digunakan untuk membuat produk-produk lain seperti tauco, kecap, dan lain-lain. Seperti dilansir di Harian Kompas edisi Juli 2003, konsumsi tempe rata-rata per orang di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 6,45 kg pertahunnya.

Berdasarkan catatan Harian Kompas ini pula dalam sejarahnya jasa besar yang telah dipersembahkan oleh tempe adalah bahwa pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, para tawanan perang yang diberi makan tempe dapat terhindar dari penyakit disentri dan busung lapar. Ini diperkuat dengan sejumlah penelitian Shurtleff, W. & A. Aoyagi (2001) yang diterbitkan pada tahun 1940-an sampai dengan 1960-an yang juga menyimpulkan bahwa banyak tahanan Perang Dunia II berhasil selamat berkat jasa tempe. Menurut Onghokham (2000), tempe yang kaya protein ini juga telah menyelamatkan kesehatan penduduk Indonesia yang populasinya padat dan berpendapatan relatif rendah.

Karena jasa-jasanya itulah, tempe yang sehari-hari kita santap itu kini mendapat tempat yang “layak”, yakni diakui eksistensinya baik di dalam maupun di luar negeri. Eksistensi tempe itu semakin diperhitungkan karena tempe memiliki potensi untuk digunakan melawan radikal bebas, sehingga dapat menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit degeneratif semisal aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan lain-lain. Tidak hanya itu tempe juga mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol darah, pencegah penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain. Oleh karena itu, tak diragukan lagi tempe sangat baik untuk diberikan kepada segala kelompok umur dari bayi hingga manula, karena itu pulalah tempe dapat diistilahkan sebagai makanan segala usia.

Mengingat jasa tempe yang begitu besar, maka sudah tidak relevan lagi memposisikan tempe sebagai terminologi keterbelakangan, bukan jamannya lagi menggunakan tempe sebagai padanan untuk merepresentasikan segala bentuk sikap dan mental rendah. Jadi jika ada orang yang mengatakan kepada kita “mental tempe” atau “otak tempe”, tak perlu lagi kita tersinggung atau marah, bahkan kita harus bangga karena istilah otak tempe kini identik dengan “wawasan internasional”, dan mental tempe identik pula dengan mental bangsa yang maju. Mengapa? Karena tempe tidak lagi hanya milik ‘wong ndeso” saja, tetapi telah menjadi milik dunia internasional. Selamat mengonsumsi tempe, dijamin aman dan menyehatkan!*** (Sangatta, 20/04/2010)

  • Written by: Imam Hanafie el-Arwany
Tulisan ini dipublikasikan di Hikmah dan tag , . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *