
Kisah Ta’dhim Syakh Ali Baaros Kepada Gurunya
Konon, suatu ketika Habib Umar Bin Abdurahman Al-Atthos RA (Penyusun Ratib Al-Atthos) sedang duduk bersama para santrinya. Ada salah seorang murid yang bernama Ali Baaros RA sedang duduk di sampingnya sambil memijit kaki sang guru itu.
Habib Umar terdiam sesaat dan berkata kepada para muridnya: “Kita kedatangan tamu istimewa, Nabi Khidir AS. Sekarang beliau sudah berada di pintu gerbang depan.”
Mendengar kabar dari sang guru tentang kedatangan Nabi Khidir AS tersebut, para murid lantas berhamburan menuju pintu gerbang depan dengan maksud menyambut kehadiran Nabi Khidir AS. Tapi tidak dengan Ali Baaros, si murid ini tetap tak beranjak dari duduknya dan tetap memijit-mijit kaki gurunya, Habib Umar Bin Abdurahman Al-Atthos RA.
Melihat muridnya tidak beranjak dari duduknya, lalu Habib Umar Bin Abdurrahman bertanya kepada Ali Baaros: “Ya Ali, kenapa engkau tidak menyambut Nabi Khidir bersama teman-temanmu yang lain?”
Si murid, Ali Baaros pun menjawab: “Wahai guru, Nabi Khidir AS datang sengaja untuk menemuimu. Untuk apa aku lepaskan tanganku dari kakimu karena kedudukanmu (yaitu sebagai guru) di mataku (sebagai murid) jauh lebih mulia dibandingkan Nabi Khidir”
Mendengar jawaban dari muridnya seperti itu, lalu berucaplah Habib Umar:
“Tidak akan aku terima hadiah Fatihah dari siapapun untukku kecuali disertai dengan nama Ali Baaros. Ini bukti keridhoanku kepadanya!”
Dengan keridhoan guru, si Ali Baaros yang berguru puluhan tahun kepada Habib Umar dengan berkhidmat dan mengabdi di kemudian hari kelak menjadi seorang ulama besar yang banyak memberi manfaat kepada umat. Kelak si murid Ali Baaros, dikenal sebagai Syeikh Ali Baaros, seorang ulama besar di zamannya.
Demikianlah, kemuliaan seorang guru itu seperti kemuliaan orang tua yang melahirkan kita. Namun, rahasia kesuksesan di dunia ada pada kedua orang tua, sedang rahasia akhirat ada pada keridhoan guru-guru kita.
“Law Laa Murobbi Ma Aroftu Robbi” (Jika bukan karena pendidik/guru, maka aku tidak akan mengenal Tuhanku).
ADAM MURID KEPADA GURU
Kata Adab ini berasal dari bahasa Arab yaitu aduba, ya’dabu, adaban, yang mempunyai arti bersopan santun, beradab. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata adab berarti kesopanan, tingkah laku, dan akhlak. Kata adab ini tidak sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan yang sering digunakan adalah kata akhlak.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adab murid terhadap guru adalah bagaimana hubungan murid dengan guru dalam belajar baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Di Jaman sekarang ini, moral para murid sedikit banyak telah mengalami kemerosotan. Para murid cenderung mengesampingkan adab sopan satun teradap guru yang pada dasarnya adalah orang tua yang harus dihormati. Tidak masalah jika menganggap guru sebagai teman, namun adab sopan santun haruslah tetap dijaga.
Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddinnya menjelaskan, adab murid terhadap guru, harus benar-benar diperhatikan supaya apa yang dicita-citakan oleh murid kelak akan berhasil dengan baik.
Adab seorang murid terhadap guru menurut Imam Al-Ghazali antara lain antara lain:
(1) “Seorang Pelajar itu jangan menyombongkan diri dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya.”
Seorang murid hendaklah mendengarkan dengan baik semua nasehat-nasehat gurunya dan mengindahkannya atau melaksanakan dalam kehidupan sehari yakni tindak tanduknya ketika dalam menuntut ilmu supaya ilmu itu mendekat tidak menjauh demi mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Alangkah baiknya seorang pelajar ini, mematuhi dan melaksanakan segala nasehat, perintah atau perkataan gurunya. Nasehat yang diberikannya bermanfaat bagi murid untuk mencapai apa yang dicita-citakannya.
(2) “Tidaklah layak seorang pelajar menyombongkan diri terhadap gurunya, termasuk sebagian dari pada menyombong terhadap guru itu, ialah tidak mau belajar kecuali kepada guru yang terkenal benar keahliannya”.
Dalam menuntut ilmu, janganlah memandang siapa yang menyampaikannya (guru) apakah ia terkenal atau tidak, karena ilmu pengetahuan itu bagaikan barang yang hilang dari tangan seorang mu’min, yang harus dipungut atau dicarinya di mana saja diperolehnya. Dan hendaklah mengucapkan rasa terima kasih kepada siapa saja yang membawanya kepadanya.
(3) “Ilmu pengetahuan tidak tercapai selain dengan merendahkan diri dan penuh perhatian”
Sebagaimana seorang murid dalam menuntut ilmu, janganlah sifat tamak dalam (menginginkan sesuatu yang belum semestinya), sebab hanya akan menghasilkan dirinya hina. Dan menjaga sesuatu yang mengakibatkan ilmu beserta ahlinya menjadi hina, akan tetapi hendaklah tawaduk (rendah hati), karena dengan tawaduk ilmu itu akan melekat dalam hati sehingga manusia dan beradab/bermoral.
(4) “Manakala guru itu menunjukkan jalan kepadanya hendaklah ditaati dan ditinggalkan pendapat sendiri.”
Seorang pelajar hendaklah mentaati apa yang menjadi keputusan gurunya dalam menentukan materi, jangan mengikuti pendapat dan kehendaknya sendiri, karena guru lebih tahu tingkatan-tingkatan pengetahuan yang harus diberikan. Jangan bertanya jika belum minta izin lebih dahulu.
(5) “Seharusnya seorang pelajar itu, tunduk kepada gurunya, mengharap pahala dan kemuliaan dengan berkhidmat kepadanya”
Seorang pelajar hendaknya mendengarkan keterangan gurunya, mengharapkan pahala dari guru yakni mengharapkan keridha’an guru dengan tidak banyak bertanya sewaktu guru kelihatan bosan atau kurang baik.
Kemarahan seorang atau rasa kurang enak kondisi guru tersebut kelihatan dari cara bicara dan paras wajahnya, maka kondisi seperti itu seorang pelajar harus dapat memahami diri dari bertanya, memberikan solusi apabila lagi mencegah dan melarang guru untuk tidak marah. Seorang guru dimanapun tetap akan ingat tugas guru di atas mempunyai tujuan untuk menghargai dan menghormati dengan diharapkan mendapat ilmu pengetahuan yang bermanfaat, karena seorang guru mepunyai tugas menyampaikan ilmu.
(6) “Jika Berkunjung Kepada guru harus menghormati dan menyampaikan salam terlebih dahulu.”
Menghormati guru merupakan salah satu sifat terpuji bahwa kewajiban seorang pelajar terhadap guru untuk mencari kerelaan gurunya dalam memberi ilmunya, seperti dalam kitab adabul’alimi wal muta’alim disebutkan:
“Pelajar hendaknya duduk didepan guru dengan sopan (adab) seperti pelajar memenuhi (meliputi dan merapatkan) pada kedua lututnya atau pelajar duduk seperti duduk takhiyat”.
(7) Jangan berbicara jika tidak diajak bicara oleh guru.
Hubungan antara murid dengan guru dalam proses pendidikan yang berlangsung ini memang harus terjalin dengan baik, tetapi ada batas-batasannya untuk menjaga kesopanan murid terhadap ilmu, dan gurunya.
Berbicara di tengah-tengah waktu guru berbicara atau berpikir sesuatu itu merupakan tindakan yang kurang tepat, karena akan menghilangkan konsentrasi berpikir guru
(8) Jangan sekali-kali su’dzan (berprasangka buruk) terhadap guru mengenai tindakan yang kelihatannya mungkar atau tidak diridhai Allah menurut pandangan murid, sebab guru lebih mengerti rahasia-rahasia yang terkandung dalam tindakannya.
Dalam belajar murid tidak boleh su’dzan kepada guru mengenai tindakan yang kelihatan munkar, su’dzan ini akan mengkibatkan ilmu yang akan diterima tidak sampai, sebab su’dzan merupakan penyakit hati, maka dari itu murid tidak boleh su’udzan terhadap gurunya, karena tidak tahu rahasia dibalik itu.
(9) Seorang murid hendaknya bersabar dalam menghadapi pelajaran dan konsekuen pada guru.
Sabar merupakan kunci dari keberhasilan mencapai cita- cita, maka murid hendak bersabar menghadapi pelajaran yang dihadapinya, janganlah kamu sibuk dengan ilmu yang lain sebelum kamu dapat menguasai dengan baik ilmu yang pertama tadi.
Apabila adab terdapat dalam diri setiap murid, maka kelak dia akan mencapai apa yang dicita-citakan, tetapi jika tidak ada dalam hatinya, maka ia tidak akan sukses meskipun tampak sukses, hal ini dapat dilihat dari tingkah lakunya sehari-hari.
Ilmu memang memilki derajat yang tinggi di hadapan Allah, namun adab adalah buah nyata dari ilmu itu. Namun mendahulukan adab daripada ilmu menjadikan ilmu semakin bermanfaat dan berkah.
Para ulama terdahulu mengajarkan kepada kita betapa adab adalah tanda makin dalamnya ilmu dan tingginya sikap tawadhu seseorang. Sebagaimana Zakariyya Al-‘Anbariy, mengatakan: “Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu sedangkan adab tanpa ilmu seperti ruh tanpa jasad.”
Wallahu a’lam bishshawab.
————————————————————
Written by: Imam Hanafie el-Arwany