Pendidikan “Wah-Wahan”

Pernah dulu energi dunia pendidikan kita disibukkan dengan kontroversi mengenai perlu tidaknya pemerintah melanjutkan proyek Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). SBI itu sendiri rencananya dirancang sebagai sekolah nasional yang menyiapkan peserta didik berbasis Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia berkualitas Internasional dan lulusannya berdaya saing Internasional.

Cita-cita yang terbilang “wah” itu hendak diwujudkan dengan mematok standar internasional yang antara lain diindikasikan dengan: (1) Menerapkan KTSP yang dikembangkan dari standart isi, standar kompetensi kelulusan dan kompetensi dasar yang diperkaya dengan muatan Internasional. (2) Menerapkan proses pembelajaran dalam Bahasa Inggris, minimal untuk mata pelajaran MIPA dan Bahasa Inggris. (3) mengadopsi buku teks yang dipakai SBI (negara maju). (4) Menerapkan standar kelulusan yang lebih tinggi  dari standar kompetensi lulusan (SKL) yang ada di dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP). (5) Pendidik dan tenaga kependidikan memenuhi standart kompetensi yang ditentukan dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP). (6) Sarana/prasarana memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP), dan (7) Penilaian memenuhi standar nasional dan Internasional.

Upaya mewujudkan SBI/RSBI itu sebenarnya memiliki landasan yang cukup kuat karena diundangkan dalam UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pasal  50 ayat (3), yang menyatakan “Pemerintah  dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Karena itulah beberapa daerah mulai berlombalomba mewujudkan sekolah yang terbilang “wah” ini karena memang UU Sisdiknas mewajibkan setiap kabupaten/kota untuk mengembangkan sedikitnya satu satuan pendidikan yaitu minimal satu SD, SMP, SMK, dan SMA yang dikemas dengan aroma internasional.

Akan tetapi siapa sangka jika cita-cita untuk mewujudkan sekolah “wah” yang super mewah ini diindikasikan akan menambah makin runyamnya dunia pendidikan di tanah air. Proyek SBI/RSI ini selanjutnya banyak menuai kritik dari beberapa pakar pendidikan, tidak saja diusulkan untuk dikaji ulang, bahkan ada yang mendesak agar dihentikan karena hanya akan memperlebar jurang diskriminasi antara masyarakat  miskin dan kaya, dikarenakan sangat mahalnya biaya yang harus dibayar orangtua yang ingin menyekolahkan anak-anaknya di RSBI/SBI ini. Padahal dalam Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas itu sendiri sudah jelas dinyatakan bahwa “Setiap warga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Pertanyaannya, warga negara yang mana yang diberi hak untuk menikmati SBI/RSI itu, apakah  hanya anak-anak yang orangtuanya ber- kantong tebal saja? Bagaimanakah dengan anak-anak yang tidak memiliki kemampuan secara ekonomi? Itulah sederet pertanyaan yang harus dapat dijawab oleh mereka yang  getol mendorong perwujudan SBI/RSBI.

Proyek SBI/RSBI tidak lain hanyalah proyek “wah-wahan” yang hanya mengedepankan target “mewah-mewahan” sebagai imbas dari keterkaguman kita yang berlebihan terhadap sekolah-sekolah luar negeri yang dianggap maju seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat, Australia, Jepang, Selandia Baru dan lain-lain, sehingga kita latah melabeli sekolah “wah” itu dengan aroma “internasional”. Di mana letak ciri khas internasionalnya? Apakah hanya karena fasilitasnya yang serba lengkap, modern, ruang kelasnya ber-AC, bahasa pengantarnya bahasa Inggris, dan manajemennya bersertifikat ISO, tapi kurikulumnya tetap menggunakan kurikulum pendidikan nasional? Begitulah, tanpa disadari kita telah terjebak
dalam perangkap pendidikan aromatik-aksesorial semata.

Menurut pakar pendidikan, Darmaningtyas, setidak-tidaknya ada beberapa alasan mengapa SBI/RSBI dipandang perlu untuk dihentikan:

Pertama, sangat mahalnya biaya pendidikan sehingga tidak terjangkau, padahal sekolah itu adalah sekolah negeri yang semestinya terbuka untuk umum, bukan hanya untuk kalangan berduit saja. Kedua, kualitasnya yang rendah dan pengelolaan keuangan yang amat tertutup, tidak transparan, dan hanya diketahui oleh kepala sekolah dan kroninya bahkan gurupun tidak mengetahui lalu lintas keuangan di sekolahnya. Ketiga, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar memaksa siswa mengeluarkan energi ekstra untuk mencerna pelajaran yang disampaikan guru, padahal kemampuan berbahasa Inggris siswa terbatas, di mana hal ini justru akan mendegradasi mutu pendidika nasional.

Keempat, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar akan memarginalkan eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan khususnya bahasa daerah. Ini tentu bertentangan dengan pasal 31 ayat (3) mengenai amanat untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional maupun pasal 32 ayat (2) yang mengamanatkan negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Kelima, penyelenggaraan SBI yang cenderung eksklusif dan mahal hanya akan menyingkirkan anak-anak yang berlatarbelakang ekonomi rendah. Hal ini bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, yang menyatakan “Setiap warga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.

Keenam, adanya ketidakjelasan konsep “taraf internasional” yang dikehendaki SBI/RSBI, tidak jelas maunya berkiblat ke negara mana? Padahal masing-masing negara memiliki sistem pendidikan yang tidak seragam; masing-masing memiliki keunggulan yang tidak bisa dibandingkan satu dengan lainnya. Ketujuh, RSBI dan SBI menjadi pintu terbuka bagi masuknya intervensi asing ke dalam
sistem pendidikan nasional. Dengan alasan mengesahkan label “internasional”, sekolah-sekolah tersebut wajib menggunakan buku buku terbitan negara-negara semisal Inggris, Prancis, Amerika Serikat, Australia, Jepang, Selandia Baru untuk mata pelajaran tertentu. Dan kedelapan, RSBI dan SBI ini telah menutup akses masyarakat luas terhadap layanan pendidikan yang bermutu lantaran uang menjadi dasar penerimaan murid baru. Banyak calon murid yang nilainya bagus tidak berani mendaftar ke sekolah yang berlabel RSBI/SBI karena biaya sekolahnya amat tinggi, baik uang sumbangan maupun SPP per bulannya.

Jika demikian, SBI/RSBI itu tidak lain hanyalah proyek latah-latahan yang hanya mengedepankan kemasan mewah-mewahan dengan menguntit model-model pendidikan asing agar dapat menampilkan aroma “bertaraf internasional” tapi sebenarnya bermutu biasa-biasa saja dan memarginalisir anakanak Indonesia yang cerdas tapi kurang beruntung secara ekonomi. Memang, SBI/ RSBI dicanangkan dengan tujuan mendorong daerah untuk mengembangkan sekolah bertaraf internasional itu, bahwa SBI perlu agar lulusan kita dapat sejajar dengan lulusan negara-negara maju.

Tujuan inipun sebenarnya dapat dicapai dengan tanpa label “internasional” sepanjang proses pembelajarannya benar dan tidak terlalu banyak intervensi kepentingan politik. Sebelum ada pelabelan internasional, sudah banyak sekolah yang lulusannya langsung melanjutkan ke negara-negara maju dan mereka lulus dengan baik. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan yang sama, meskipun tidak berlabel “internasional”. Dengan kata lain, kualitas bertaraf internasional tidak terletak pada label dan segala macam aroma “internasional”-nya, tetapi pada proses pembelajaran yang benar. Wallahu ’Alam.

Written by: Imam Hanafie el-Arwany

Ilustrasi: Mon-Wayatim

Published on Gazebo Newspaper, Second Edition/Vol.I/December 2010

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Pendidikan dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *