Filosofi Gazebo, Historisitas Lahirnya Majalah Gazebo

Kalau anda memasuki kampus STAIS Kutim (kampus lama di jalan APT Pranoto) melalui pintu gerbang sebelah kiri, lurus terus hingga berhenti tepat di depan gedung perpustakaan, maka di depan gedung perpustakaan itu anda dapat melihat dengan jelas dua buah bangunan kayu berukuran 5 X 5 meter yang berdiri megah di atas sebuah kolam seluas 15 X 15 m2. Kolam buatan itu sendiri memiliki pertalian sejarah yang sangat erat dengan dua buah bangunan kayu yang kini akrab disebut “Gazebo” itu. Sebelum mengurai lebih jauh tentang historisitas dan filosofi Gazebo yang kini kita adopsi sebagai nama majalah mahasiswa STAIS Kutai Timur itu, saya kira perlu untuk sedikit menyingkap sejarah pembuatan kolam tersebut.

Munculnya ide pembuatan kolam di atas sebidang lahan yang dulunya berupa rawa-rawa itu sebenarnya didasari oleh keinginan dari pihak kampus untuk “memperluas” ruang baca perpustakaan STAIS Kutim yang sempit dan kurang representatif untuk digunakan sebagai ruang baca para mahasiswa. Adalah Ibunda Profesor Siti Muri’ah, Ketua STAIS Kutim berkeinginan mencarikan alternatif ruang baca perpustakaan yang sempit tersebut, melalui beberapa dosen-dosennya seperti Pak Tatok (Mustatho’, M.Pd.I), Pak Sur (Surono, MSI), dan Pak Agus (Agus Sulisyanto, S.Pd.I), serta beberapa dosen yang lain Ibunda Profesor menyampaikan ide pembuatan kolam tepat di depan gedung perpustakaan yang kelak akan didirikan dua buah bangunan kayu yang akan difungsikan sebagai sarana ruang baca alternatif perpustakaan.

Selanjutnya pada tahun kedua berdirinya STAIS Kutai Timuritu (2008) dimulailah proses pembukaan lahan untuk membuat kolam yang dikomandani oleh Pak Sur (Surono, MSI) bersama Pak Tatok (Mustathok, M.Pd.I), Pak Andy (Edy Purnomo, SE) dan para mahasiswa sebut saja Abdul Gofar, Dedi Arman, Khoirul Faizin, Ahmad Sodiqin, Abdul Basit, Andi Muhammad Fauzan Razak, Abdul Gani, Wahyu Wintala, M. Akhyar, Mukhtar (kesemuanya sudah alumni) serta beberapa orang mahasiswa lainnya. Tak ketinggalan pula para mahasiswinya juga turut serta seperti Bu Nung (Nurshiam), Nunul (Khusnul Khotimah), Fatimah Ainah, Ika Wahyuni dan lain-lain melibatkan diri untuk menghidangkan masakan lezatnya. Dalam kurun waktu kurang lebih satu bulan selesailah pengerjaan pembuatan kolam tersebut, di mana oleh para “pekerja”-nya kolam tersebut dinamakan “Kolam Perjuangan”.

Sejarah proses pembuatan kolam tersebut hingga kini menyisakan banyak kenangan yang akan selalu diingat oleh para pelakunya. Betapa tidak, momentum proses pembuatan kolam tersebut telah menghapuskan jarak elitisme antara dosen dan mahasiswa. Para dosen tersebut rela belepotan lumpur bersama para mahasiswa, seakan para mahasiswa itu lupa bahwa yang orang-orang yang memegang cangkul, sabit dan bermandikan lumpur bersama mereka itu adalah para dosen yang sehari-harinya mengajar mereka.

Keterlibatan dua unsur (dosen dan mahasiswa)itu sesungguhnya menggambarkan adanya nilai-nilai egalitarian, harmoni, dan kefamiliaran yang terbangun di antara keduanya. Sinergisitas inilah sesungguhnya modal yang sangat berharga dan sebagai tonggak awal untuk membangun nilai-nilai tradisi ilmiah akademis di kampus yang relatif baru berdiri ini. Bahwa untuk menciptakan sebuah tradisi baru yang mengarah kepada terwujudnya atmosfer akademis pada sebuah perguruan tinggi yang relatif baru haruslah dimulai dari membangun nilai-nilai solidaritas dan komunikasi yang hangat di antara civitas akademika terlebih dulu. Singkat cerita, di atas kolam yang banyak Ikan Sepat dan Nila-nya itu berdirilah dua buah bangunan kayu tanpa dinding yang disebut-sebut sebagai ‘gazebo’ dan hingga kini (dulu: pen) tidak pernah sepi dari berbagai aktivitas mahasiswa.

Pada hari Rabu, 7 April 2010 tepat pukul 17.30 Wita dalam sebuah pertemuan pengurus Lembaga Pers Mahasiswa STAIS Kutim yang dihadiri oleh Pembantu Ketua III (Haryono, M.Si), Ketua Jurusan Tarbiyah (Imam Hanafie, M.A.), Sekretaris Jurusan Tarbiyah (Khusnul Wardan, M.Pd), Kepala P3M (Mustatho’, M.Pd.I), Presiden BEM (M. Andi Fauzan Razak), Pimpred majalah kampus (Abdul Basit), Pengelola Tata Letak Majalah (M. Khoirul Faizin) dan beberapa pengurus LPM dan BEM STAIS lainnya menemukan kata sepakat untuk mendirikan dan memberi nama majalah kampus STAIS Kutim dengan nama Majalah Mahasiswa “Gazebo” dengan motto: “Mencerahkan untuk Menggerakan”. Pada momen itu pula disepakati untuk mendaulat Pak Haryono selaku pembina majalah mahasiswa Gazebo sebagai pendirinya. Memang sebelumnya terdapat beberapa usulan nama untuk majalah mahasiswa ini, seperti: SUKMA, Al-Fikroh, Gazebo dan beberapa nama lain, namun akhirnya forum menyepakati untuk memberi nama majalah mahasiswa ini dengan nama “Gazebo”.

Apakah Gazebo itu? Dalam kamus Wikipedia berbahasa Inggris disebutkan: “A gazebo is a pavilion structure, sometimes octagonal, in parks, gardens, and spacious public areas. Gazebos are freestanding or attached to a garden wall, roofed, and open on all sides; they provide shade, shelter, ornamental features in a landscape, and a place to rest. Some gazebos in public parks are large enough to serve as bandstands or rain shelters”. Gazebo adalah struktur paviliun, kadang-kadang bersegi delapan, biasanya terdapat di taman, kebun, dan area publik yang luas. Gazebo yang berdiri sendiri atau menempel pada dinding kebun, atap, dan terbuka pada semua sisi, di dalamnya biasanya disediakan tempat yang teduh, tempat berlindung, fitur hias lanskap, dan tempat untuk beristirahat. Beberapa gazebo di taman publik yang cukup besar bisanya digunakan sebagai bandstands atau tempat penampungan air hujan.

Mengapa harus Gazebo? Itulah pertanyaan mungkin akan muncul. Dua buah bangunan tanpa dinding yang kini berdiri megah di atas “kolam perjuangan” itu rupanya telah menginspirasi para mahasiswa dan dosen untuk dijadikan sebagai nama majalah kampus STAIS Kutim. Pemilihan nama “Gazebo” tidaklah datang dengan sendirinya, tidak pula semudah membalik telapak tangan. Bukan rahasia lagi bahwa sejak bangunan Gazebo itu berdiri bangunan itu tidak pernah sepi dari berbagai aktivitas mahasiswa, bahkan berbagai ide-ide besar telah dilahirkan di atasnya.

Di bangunan Gazebo itulah wadah bertemu antara mahasiswa dengan mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, dan dosen dengan dosen dan sering melahirkan titik temu berupa agenda-agenda kegiatan kemahasiswaan. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Gazebo itu merupakan cikal bakal lahirnya agenda-agenda pencerahan (enlightenment), yang menggugah kesadaran mahasiswa akan tugas dan perannya sebagai social agent (pelopor masyarakat), agent of change (pelopor perubahan). Bukankah Gazebo itu juga pernah digunakan untuk perkuliahan, bimbingan bahasa asing, pengajian kitab kuning, Maulid Habsyi, Rebana dan sebagainya?

Oleh karena itu, dapat diungkapkan bahwa Gazebo dalam dunia pendidikan khususnya di lingkungan civitas akademika STAIS Kutim dapat dimaknai sebagai kumpulan semangat yang tinggi, cita-cita luhur, wahana untuk eksplorasi wacana-wacana perubahan, dan sarana untuk mengekspresikan dan mengembangkan nilai-nilai seni dan budaya yang bernafaskan Islam, basis penggalian dan pengembangan gagasan-gagasan besar dan sebagainya. Karena itu, adalah tepat dan tak berlebihan jika kata Gazebo diadopsi sebagai nama majalah kampus kita.

Bahwa majalah Gazebo harus mampu mengemban visi sebagai media pencerahan yang dinamis, inovatif, dan futuristik. Sebagai media pencerahan yang dinamis, majalah Gazebo harus senantiasa mampu mengikuti perkembangan zaman, luwes dan berbobot. Sebagai media inovatif, majalah Gazebo harus mampu melakukan terobosan-terobosan baru yang lebih bermanfaat dan tepat sasaran. Sedangkan sebagai media futuristik, majalah Gazebo harus selalu berorientasi kedepan dalam penyelenggaraan dan pengembangan program-programnya yang populis dan akademis.

Majalah Gazebo adalah pers mahasiswa yang juga merupakan “pers pergerakan” dan “pers alternatif”, yang memposisikan diri menjadi alternatif dari pers umum. Majalah Gazebo pada saatnya kelak harus menjadi pers akademis yang berkutat dalam hal keilmuan. Penting untuk diingat bahwa majalah Gazebo bukanlah lembaga profesional, sehingga mau tidak mau majalah Gazebo berada dalam tahapan semi profesional.

Banyak faktor yang menyebabkan hal itu. Di antaranya, karena para pengelolanya sendiri –yaitu mahasiswa– disibukkan dengan perkuliahan. Tidak ada space waktu khusus, yang kemudian menjamin pengelolaan yang profesional, apalagi majalah Gazebo tidak menggaji para anggota atau pengurusnya. Sebagai organisasi unit kegiatan mahasiswa (UKM), majalah Gazebo sebagaimana sebuah organisasi kampus, memakai pola kaderisasi, yakni tidak ada ketetapan dalam sebuah kerangka kepengurusan karena pengelolanya akan selalu berganti setiap tahunnya. Selamat menikmati sajian majalah Gazebo! Semoga tercerahkan, dan akhirnya mampu menggerakkan diri, memanifestasikan diri sebagai agen perubahan.

*Written by: Imam Hanafie el-Arwany

 

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Jurnalistik dan tag , . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *