Belajar Mengelola Kebencian

Suatu ketika di akhir tahun 1999, hampir semua orang mencaci-maki Pak Harto yang dipersepsikannya sebagai biang kerok atas segala krisis multidimensi yang terjadi di republik ini. Orang-orang yang semula “menjilat-jilat” bokong Pak Harto pun menjauhinya, agar terbebas dari stigma Soehartois. Tetapi Gus Dur, yang oleh media terbitan Singapura, The Sunday Times dijuluki sebagai The Kingmaker itu dengan entengnya dan tanpa beban malah berkunjung ke kediaman Soeharto di Cendana.

Manuver yang tak lazim itu tentu saja membuat banyak orang heran, marah bahkan banyak pula yang menghujat kunjungan itu, mengingat mantan presiden itu telah dicap sebagai public enemy. Lantas, apa jawaban Gus Dur menanggapi hujatan itu? “Pak Harto masih kuat. Pendukungnya yang berewokan dan serem-serem itu bisa marah kalau Pak Harto terus dihujat,” demikian jawab Gus Dur enteng.

Terlepas dari anasir politis yang melatarbelakangi tindakan Gus Dur yang nyleneh bin nekat itu, ada satu ibrah yang dapat kita ambil untuk direnungkan bersama. Boleh jadi Gus Dur memang membenci kediktatoran mantan penguasa Orde Baru itu, tetapi barangkali juga Gus Dur tidaklah membenci Soherto sebagai sesama manusia yang tentu juga masih memiliki sifat kemanusiaan. Jadi, Gus Dur tidaklah membenci “siapanya” tetapi membenci “apa yang dilakukannya”. Di sinilah tampak dengan jelas nilai-nilai keadilan (al-‘adalah) dalam meletakkan secara tepat antara sikap kebencian dengan nilai-nilai humanisme.

Sifat membenci atau kebencian (al-bughdh) adalah suatu keniscayaan yang pasti dimiliki oleh setiap makhluk yang bernama manusia, sebab di dunia ini ada dua hal yang senantiasa berpasang-pasangan ; siang-malam, baik-buruk, cinta-benci dan seterusnya. Jadi, jika ada yang mengatakan “saya tak pernah membenci apapun atau siapapun”, maka orang seperti ini perlu dipertanyakan kemanusiaannya. Oleh karena sifat membenci dan mencintai itu musti ada pada setiap diri kita, maka kewajiban kita adalah me-manage­-nya secara profesional agar kecintaan dan kebencian itu mampu menghasilkan kemaslahatan dan rahmatan lil’alamin.

Al-Qur’an, dengan tegas menggariskan : “…Dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu berbuat tidak adil. Berbuat adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Maidah : 8). Meskipun kebencian itu lazim ada pada siapapun, dengan tegas Al-Qur’an mensyaratkan tidak boleh sama sekali kebencian itu dijadikan alasan untuk memperlakukan orang yang dibencinya secara tidak adil. Boleh saja kita membenci apapun atau siapapun, tetapi sekali-kali kebencian itu harus diposisikan secara profesional, jika tidak maka kebencian itu sendiri yang lambat laun akan membunuh diri kita sendiri.

Ada salah satu kebiasaan yang mungkin masih kita lakukan, yaitu kebencian “gebyah uyah” atau pukul rata. Misalnya, kita membenci salah satu sikap seseorang yang menurut kita sudah keterlaluan, karena saking bencinya kita menjadi gelap mata dan menganggap orang itu akan brengsek selamanya. Atau karena saking tidak sukanya lantas kita memvonisnya secara membabi buta dengan menyatakan bahwa semua af’al (perbuatan) orang yang tidak kita sukai itu “kurang ajar” belaka hanya karena satu perbuatan yang tak kita sukai. Ataupun juga, karena terlalu membenci seseorang lalu ketika kita secara tak sengaja bertemu orang yang sangat kita benci itu kita sering membuang muka, bahkan memberi sedikit senyumanpun terasa berat, padahal ini sama saja dengan tidak “memanusiakan” manusia karena menganggap orang yang kita benci itu hanya sebagai “mayat berjalan”. Tindakan semacam ini jelas-jelas menunjukkan bahwa kita tak profesional mengelola kebencian, yakni tak mampu menjunjung tinggi prinsip keadilan ketika kebencian sedang menguasai jiwa. Padahal dengan jelas Tuhan telah berfirman bahwa tak boleh sekali-kali kebencian kita itu menjadikan kita alasan untuk berlaku tidak adil, meskipun hanya sebatas memberikan senyuman di saat kita dikuasai perasaan benci.

Dalam konteks membenci atau mencintai sesama, Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya telah memberikan batasan : “Cintailah apa saja yang kamu cintai itu sekedarnya saja, sebab boleh jadi apa yang kamu cintai itu suatu saat akan engkau benci. Dan bencilah apa saja yang kamu benci itu sekedarnya saja, sebab boleh jadi apa yang kamu benci itu suatu saat akan kamu cintai” (Al-Hadits). Dengan tegas sabda Rasulullah SAW ini menjelaskan kepada kita bahwa meskipun kecintaan atau kebencian itu sebuah keniscayaan, akan tetapi ia tak boleh berlebihan, dalam arti cintailah dan bencilah apa saja yang kita cintai dan kita benci dalam tataran yang wajar.

Jika pada suatu saat kita memang harus membenci seseorang, silahkan benci saja dia. Tetapi janganlah kebencian itu dengan harga mati, agar humanisme kita tidak ikut mati. Janganlah kebencian itu membabi buta, agar hati kita tidak ikut-ikutan buta. Jika humanisme kita benar-benar mati dan hati kita telah buta, maka jelas kita tak akan pernah mengenal keadilan, baik terhadap lingkungan, orang lain dan diri kita sendiri. Bukankah Tuhan telah berfirman bahwa sikap adil itu dekat dengan ketaqwaan. Jadi jika kita memang tidak melihat seratus persen kebaikan pada diri orang, janganlah dibuang semuanya (Mala yudraku kulluh, la yutraku kulluh). Berkaitan dengan hal ini, ada satu pepatah yang menyatakan : “Errors like straws upon the surface flow; he who would search for pearls must dive low”, maksudnya, mencari kesalahan orang lain itu mudah, tetapi kita perlu berusaha untuk mengetahui kebaikan-kebaikannya. Wallahu ‘alam bishshawab.

written by: Imam Hanafie el-Arwany

Tulisan ini dipublikasikan di Akhlak. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *