Puasa Melatih Kedisiplinan

Sebagai ilustrasi, dalam topik ini kita perlu terlebih dahulu membaca tentang kisah kedisiplinan yang mendorong orang dapat mencapai kesuksesan. Pada tahun 70-an, banyak orang yang kagum pada Mark Spitz, bintang Olimpiade tahun 1972 di Munich, Jerman. Saat itu ia berhasil memperoleh tujuh medali emas serta memecahkan tujuh rekor dunia baru dalam olah raga renang. Adakah rahasia di balik keberhasilannya?

Ketika ditanya tentang rahasia di balik kesuksesannya itu, Mark Spitz mengatakan, ”We all love to win, but how many people love to train?” –Kita semua menyukai kemenangan, tetapi tidak banyak dari kita yang menyukai latihan dengan penuh kedisiplinan. Semua orang melihat Mark Spitz menerima medali emas dengan penuh kekaguman. Namun, adakah yang memperhatikan bagaimana Mark Spitz harus melalui kedisiplinan dalam latihan keras sejak pagi, siang, sore, bahkan malam hari. Ternyata untuk mencapai prestasi tersebut Mark Spitz harus melalui latihan keras secara disiplin hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun. Ia telah membayar terlebih dulu harga kesuksesannya.

Sepenggal kisah di atas mencoba memberikan bukti dan penjelasan kepada kita, bahwa untuk dapat mencapai prestasi yang gemilang dalam semua profesi dan pekerjaan kita, faktor kedisiplinan merupakan kunci terpenting penting. Kedisiplinan mengantarkan seseorang yang bekerja dapat berjalan (menjalankan pekerjaannya) sesuai dengan prosedur kerja yang ada. Di samping itu, kedisiplinan juga menjadikan seseorang mampu mengelola dan memanfaatkan waktu kerja yang ada seoptimal dan seproduktif mungkin. Baginya tak ada waktu kerja yang terbuang percuma, sebab setiap detik dalam waktu kerjanya dipandang sebagai amanah yang tak boleh disia-siakan.

Lantas, apa kaitan antara kedisiplinan dengan ibadah puasa? Salah satu hikmah yang dapat dipetik dari ibadah puasa adalah terdidiknya umat Islam hidup disiplin untuk menahan diri dari melanggar hukum atau aturan-aturan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Praktek-praktek upaya “mendisiplinkan diri” diri ini dapat kita lihat pada beberapa aktivitas kita di bulan puasa. Misalnya disiplin untuk bangun sahur menjelang subuh, kemudian disiplin menahan lapar satu hari pada waktu siang dengan menghindari diri dari nafsu makan dan minum, disiplin menahan godaan dari berbicara kotor dan perbuatan yang keji, disiplin menahan dorongan seksual, meskipun terhadap suami dan isteri yang sah, disiplin untuk meninggalkan perkatan dusta, dan seterusnya. Perilaku-perilaku buruk yang kontra-produktif itu apabila tidak ditinggalkan hanya akan menyia-nyiakan puasa. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan demikian, maka tidaklah ada artinya di sisi Allah dia meninggalkan makan dan minumnya” (HR. Bukhari).

Contoh-contoh tentang kedisiplinan dalam ibadah puasa di atas pada dasarnya adalah suatu upaya untuk menjadikan manusia “terbiasa” dan tanpa “terpaksa” melakukan berbagai aktivitas kerjanya untuk mendorong produktivitas yang lebih baik. Kesemua contoh tentang kedisiplinan di atas pada gilirannya akan membentuk tipe manusia yang pandai menghargai waktu, pekerjaan dan profesinya. Apapun pekerjaan atau profesinya, baik pejabat, pegawai, guru, petani, nelayan dan sebagainya.

Menurut John Maxwell, penulis Developing The Leader Within You, ada empat hal yang harus kita perhatikan untuk melakukan pengembangan diri secara disiplin sehingga dapat membangkitkan potensi besar yang kita miliki. Empat hal tersebut adalah start with yourselfstart earlystart smallstart now. Mulai dari diri sendiri – sesegera mungkin – sedikit demi sedikit – lakukan sekarang.  Konsep disiplin Maxwell ini dapat kita terapkan dalam ibadah puasa, dan diharapkan di akhir puasa kita dapat melakukan semua pekerjaan tanpa rasa beban, tekanan, dan ketidak-nyamanan.

Kedisiplinan dalam pengembangan diri harus mulai dari diri kita sendiri, artinya kita lakukan puasa dari diri sendiri terlebih dulu. Ini berarti kita tidak bisa menyuruh orang lain melakukan melakukan ibadah puasa untuk kesuksesan kita tanpa kita sendiri yang memulainya. Kedisiplinan harus dimulai lebih awal, artinya kedisiplinan menjalankan ibadah puasa harus sudah kita terapkan sejak menjelang bulan Ramadhan, atau di persiapkan secara mental di akhir bulan Sya’ban.

Kedisiplinan adalah syarat mutlak bagi setiap kita yang akan membangun sebuah kebiasaan baru. Setiap manusia baru akan memiliki sebuah kebiasaan baru ketika dia secara disiplin melakukan hal tersebut secara terus-menerus tidak pernah terputus selama sedikitnya 30 –90 hari. Jika ibadah puasa bisa menjadi kebiasaan yang tidak terputus selama 30 hari, dan dilaksanakan secara disiplin dan konsisten, maka lambat laun kebiasaan berdisiplin itu akan berpengaruh pula terhadap perilaku kerja dan ibadah-ibadah lain kita di bulan-bulan yang lain. Akhirnya, marilah kita renungkan firman Allah SWT ini: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu ” (QS. At-Taubah: 105).

Written by: Imam Hanafie el-Arwany

Memo: 27 September 2006

Ilustrasi: Republika.com

 

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Keislaman, Hikmah dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *