Membakar Sifat Korup

Salah satu penyebab keterpurukan bangsa Indonesia -sebagai akibat dari warisan Orde Baru- adalah karena merajalelanya praktek korupsi yang terjadi di beberapa instansi pemerintah dan instansi swasta lainnya. Korupsi yang telah menjadi bad cultural dari sebagian anak bangsa ini, dalam realitasnya telah menyengsarakan sekian banyak kehidupan masyarakat kita.

Korupsi telah menciptakan jurang pemisah yang makin melebar antara segelintir orang yang menikmati berbagai kemewahan dan kefoya-foyaan dengan penderitaan dan kenestapaan rakyat kecil. Korupsi ini ini pulalah yang telah menciptakan karakter bangsa kita menjadi bangsa yang kerdil, karena berbagai ketimpangan yang diakibatkan oleh penyakit yang bernama korupsi ini telah mereduksi kekuatan moralitas bangsa kita, sehingga menjadikan bangsa kita makin terpuruk.

Penyakit korupsi ini pada dasarnya adalah penyakit mental yang dibangun atas sikap-sikap ketidakpedulian atas nasib masa depan bangsa. Banyak yang memberikan interpretasi atas penyakit yang bernama korupsi ini, seperti: sikap ketidakpedulian akan nasib orang lain, sikap tidak pernah merasa cukup (kemaruk), menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan, merampas hak-hak orang lain, memperkaya diri secara membabi buta, mencuri waktu kerja tanpa alasan yang jelas, dan seterusnya.

Kesemua contoh tentang interpretasi korupsi tersebut pada intinya menandakan kerusakan mentalitas dari si pelakunya. Lebih parah lagi, dalam sebuah kesempatan M. Quraisy Shihab menyebut pelaku korupsi itu sebagai orang yang sedang mengidap “sakit jiwa”. Orang seperti ini perlu dikasihani, karena sejatinya ia sedang sakit dan perlu disembuhkan sebab penyakitnya dapat merugikan, bahkan dapat menghilangkan hak kemaslahatan orang lain.

Kehadiran bulan Ramadhan adalah momen yang tepat untuk “menyembuhkan” pasien berpenyakit korup ini melalui terapi puasa. Selain menahan diri dari makan dan minum di siang hari, dalam puasa itu orang “dipaksa” untuk membiasakan hal-hal yang sebelumnya berat dilakukan, misalnya: ia diwajibkan untuk menghindari sikap kamuflase (hipokrit), menjaga lidah dari hal-hal yang menyakitkan, menjaga pandangan dari hal-hal yang mengundang syahwat, mengendalikan diri dari sikap kemaruk dan menang sendiri, memotivasi diri untuk merenungkan penderitaan orang lain, dan yang terpenting adalah menggugah diri untuk menyadari tentang siapa sebenarnya dirinya yang sejati agar ia mampu mengenal dan tunduk kepada Tuhannya, man arofa nafsahu faqod arora robbahu (orang yang mampu mengenali esensi dirinya, akan mampu mengenal Tuhannya).

Bulan puasa dapat dianggap sebagai bulan “wisata spiritual”, yakni wahana penjelajahan untuk kembali melakukan upaya-upaya introspektif, mengevaluasi semua af’al (perbuatan) dan aqwal (ucapan) yang bernuansa korup, yang telah menjadi kebiasaan buruk di bulan-bulan sebelumnya baik yang didasari maupun yang tak disadarinya. Dalam perjalanan wisata spiritual itu, kelak ia akan menemukan “jalan lurus” (shirothol mustaqim) yang akan membimbingnya menjalankan fungsi-fungsi kekhalifahan yang jauh dari sifat-sifat korup, yaitu sifat-sifat yang merupakan bagian dari sifat taqwa (la’allakum tattaqun).

—————————————————-

Written by: Imam Hanafie el-Arwany

Memo: 28 September 2006

Ilustrasi: Grid.id

 

Tulisan ini dipublikasikan di Akhlak, Artikel Keislaman dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *